1. Perintah Pertama untuk menampakkan Dakwah
Sehubungan dengan hal ini, ayat pertama yang turun adalah firmanNya: "dan
berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat" (Q.S.26/asy-Syu'ara' :
214).
Terdapat jalur cerita sebelumnya yang menyinggung kisah Musa
'alaihissalaam dari permulaan kenabiannya hingga hijrahnya bersama Bani Israil,
lolosnya mereka dari kejaran Fir'aun dan kaumnya serta tenggelamnya fir'aun
bersama kaumnya. Kisah ini mengandung beberapa tahapan yang dilalui oleh Musa
'alaihissalaam dalam dakwahnya terhadap Fir'aun dan kaumnya agar menyembah
Allah.
Seakan-akan rincian ini hanya dipaparkan seiring dengan perintah kepada
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam agar berdakwah kepada Allah secara
terang-terangan sehingga dihadapan beliau dan para shahabatnya terdapat contoh
dan gambaran yang akan dialami oleh mereka nantinya; yaitu berupa pendustaan dan
penindasan manakala mereka melakukan dakwah tersebut secara terang-terangan. Demikian
pula, agar mereka mawas diri dalam melakukan hal itu dan berdasarkan ilmu
semenjak awal memulai dakwah mereka tersebut.
Disamping itu, surat tersebut (asy-Syu'ara') juga berbicara mengenai nasib yang akan dialami oleh pendusta-pendusta para Rasul, diantaranya sebagaimana yang dialami oleh kaum nabi Nuh, kaum 'Ad dan Tsamud, kaum Nabi Ibrahim, kaum Nabi Luth serta Ashhabul Aykah (selain yang berkaitan dengan perihal Fir'aun dan kaumnya). Hal itu semua dimaksudkan agar mereka yang melakukan pendustaan mengetahui bahwa mereka akan mengalami nasib yang sama seperti nasib kaum-kaum tersebut dan mendapatkan pembalasan dari Allah bila melakukan hal yang sama. Demikian pula, agar kaum Mukminin tahu bahwa kesudahan yang baik dari itu semua akan berpihak kepada mereka bukan kepada para pendusta tersebut.
Berdakwah di kalangan Kaum Kerabat
Setelah menerima perintah dalam ayat tersebut, Rasululullah Shallallâhu 'alaihi wasallam mengundang keluarga terdekatnya, Bani Hasyim. Mereka datang memenuhi undangan itu disertai oleh beberapa orang dari Bani al-Muththalib bin 'Abdi Manaf. Mereka semua berjumlah sekitar 45 orang laki-laki. Namun tatkala Rasulullah ingin berbicara, tiba-tiba Abu Lahab memotongnya sembari berkata: "mereka itu (yang hadir) adalah paman-pamanmu, anak-anak mereka; bicaralah dan tinggalkanlah masa kekanak-kanakan! Ketahuilah! Bahwa kaummu tidak memiliki cukup kekuatan untuk melawan seluruh bangsa Arab. Akulah orang yang berhak membimbingmu. Cukuplah bagimu suku-suku dari pihak bapakmu. Bagi mereka, jika engkau ngotot melakukan sebagaimana yang engkau lakukan sekarang, adalah lebih mudah ketimbang bila seluruh suku Quraisy bersama-sama bangsa Arab bergerak memusuhimu. Aku tidak pernah melihat seseorang yang datang kepada suku-suku dari pihak bapaknya dengan membawa suatu yang lebih jelek dari apa yang telah engkau bawa ini". Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam hanya diam dan tidak berbicara pada majlis itu.
Kemudian beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam mengundang mereka lagi, dan berbicara: "alhamdulillah, aku memujiNya, meminta pertolongan, beriman serta bertawakkal kepadaNya. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah semata Yang tiada sekutu bagiNya". Selanjutnya beliau berkata: "sesungguhnya seorang pemimpin tidak mungkin membohongi keluarganya sendiri. Demi Allah yang tiada Tuhan selainNya! Sesungguhnya aku adalah Rasulullah yang datang kepada kalian secara khusus, dan kepada manusia secara umum. Demi Allah! sungguh kalian akan mati sebagaimana kalian tidur dan kalian akan dibangkitkan sebagaimana kalian bangun dari tidur. Sungguh kalian akan dihisab (diminta pertanggungjawabannya) terhadap apa yang kalian lakukan. Sesungguhnya yang ada hanya surga yang abadi atau neraka yang abadi". Kamudian Abu Thalib berkomentar: "alangkah senangnya kami membantumu, menerima nasehatmu, dan sangat membenarkan kata-katamu. Mereka, yang merupakan suku-suku dari pihak bapakmu telah berkumpul. Sesungguhnya aku hanyalah salah seorang dari mereka namun aku adalah orang yang paling cepat merespek apa yang engkau inginkan; oleh karena itu teruskan apa yang telah diperintahkan kepadamu. Demi Allah! aku masih akan melindungi dan membelamu akan tetapi diriku tidak memberikan cukup keberanian kepadaku untuk berpisah dengan agama Abdul Muththalib". Ketika itu, berkata Abu Lahab: "Demi Allah! ini benar-benar merupakan aib besar. Ayo cegahlah dia sebelum dia berhasil menyeret orang lain selain kalian!. Abu Thalib menjawab: "demi Allah! sungguh selama kami masih hidup, kami akan membelanya".
Di atas Bukit Shafa
Setelah yakin tugasnya menyampaikan wahyu Rabbnya telah mendapatkan perlindungan dari pamannya, Abu Thalib, beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam suatu hari berdiri tegak diatas bukit Shafa sembari berteriak: "Ya shabaahah! (seruan untuk menarik perhatian orang agar berkumpul di waktu pagi)". Lalu berkumpullah suku-suku Quraisy. Kemudian beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam mengajak mereka kepada tauhid, beriman kepada risalah yang dibawanya dan Hari Akhir.
Imam Bukhari telah meriwayatkan satu sisi dari kisah ini, yaitu hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: "tatkala turun ayat
{firmanNya: 'dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat' [Q.S.
asy-Syu'ara' : 214] } Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam naik ke atas bukit
Shafa lalu memanggil-manggil : 'wahai Bani Fihr! Wahai Bani 'Adiy! Seruan ini
diarahkan kepada suku-suku Quraisy. Kemudian tak berapa lama, merekapun
berkumpul. Karena maha pentingnya panggilan itu, seseorang yang tidak bisa
keluar memenuhinya, mengirimkan utusan untuk melihat apa gerangan yang
terjadi?. Maka, tak terkecuali Abu Lahab dan kaum Quraisypun berkumpul juga.
Kemudian beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam berbicara: 'bagaimana menurut
pendapat kalian kalau aku beritahukan kepada kalian bahwa ada segerombolan
pasukan kuda di lembah sana yang ingin menyerang kalian, apakah kalian akan
mempercayaiku?. Mereka menjawab: 'ya! Kami tidak pernah tahu dari dirimu selain
kejujuran'. Beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam berkata: 'Sesungguhnya aku
adalah sebagai pemberi peringatan kepada kalian terhadap azab yang amat pedih'.
Abu Lahab menanggapi: 'celakalah engkau sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk
ini engkau kumpulkan kami?. Maka ketika itu turunlah ayat {firmanNya:
"binasalah kedua tangan Abu Lahab…"} [Q.S. al-Masad: 1] ".
Sedangkan Imam Muslim meriwayatkan satu sisi yang lain dari kisah tersebut, yaitu riwayat dari Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu, dia berkata: "Tatkala ayat ini turun {firmanNya: 'dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat' [Q.S. asy-Syu'ara' : 214] } Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam mendakwahi mereka baik dalam skala umum ataupun khusus. Beliau berkata: 'wahai kaum Quraisy! Selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai Bani Ka'b! Selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai Fathimah binti Muhammad! Selamatkanlah dirimu dari api neraka. Demi Allah! sesungguhnya aku tidak memiliki sesuatupun (untuk menyelamatkan kalian) dari azab Allah selain kalian memiliki ikatan rahim yang akan aku sambung karenanya".
Teriakan yang keras ini merupakan bentuk dari esensi penyampaian dakwah yang optimal dimana Rasulullah telah menjelaskan kepada orang-orang yang memiliki hubungan terdekat dengannya bahwa membenarkan risalah yang dibawanya tersebut adalah bentuk dari efektifitas hubungan antara dirinya dan mereka. Demikian pula, bahwa fanatisme kekerabatan yang dibudayakan oleh orang-orang Arab akan lumer di bawah terik panasnya peringatan yang datang dari Allah tersebut.
Menyampaikan al-Haq secara terang-terangan dan sikap kaum Musyrikin terhadapnya
Teriakan lantang yang dipekikkan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam tersebut masih terasa gaungnya di seluruh penjuru Mekkah. Puncaknya saat turun firmanNya Ta'ala: "Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik" (Q.S. al-Hijr: 94).
Sedangkan Imam Muslim meriwayatkan satu sisi yang lain dari kisah tersebut, yaitu riwayat dari Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu, dia berkata: "Tatkala ayat ini turun {firmanNya: 'dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat' [Q.S. asy-Syu'ara' : 214] } Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam mendakwahi mereka baik dalam skala umum ataupun khusus. Beliau berkata: 'wahai kaum Quraisy! Selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai Bani Ka'b! Selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai Fathimah binti Muhammad! Selamatkanlah dirimu dari api neraka. Demi Allah! sesungguhnya aku tidak memiliki sesuatupun (untuk menyelamatkan kalian) dari azab Allah selain kalian memiliki ikatan rahim yang akan aku sambung karenanya".
Teriakan yang keras ini merupakan bentuk dari esensi penyampaian dakwah yang optimal dimana Rasulullah telah menjelaskan kepada orang-orang yang memiliki hubungan terdekat dengannya bahwa membenarkan risalah yang dibawanya tersebut adalah bentuk dari efektifitas hubungan antara dirinya dan mereka. Demikian pula, bahwa fanatisme kekerabatan yang dibudayakan oleh orang-orang Arab akan lumer di bawah terik panasnya peringatan yang datang dari Allah tersebut.
Menyampaikan al-Haq secara terang-terangan dan sikap kaum Musyrikin terhadapnya
Teriakan lantang yang dipekikkan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam tersebut masih terasa gaungnya di seluruh penjuru Mekkah. Puncaknya saat turun firmanNya Ta'ala: "Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik" (Q.S. al-Hijr: 94).
Lalu Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam
melakukan dakwah kepada Islam secara terang-terangan (dakwah jahriyyah) di
tempat-tempat berkumpulnya kaum musyrikin dan di club-club mereka. Beliau
membacakan Kitabullah kepada mereka dan menyampaikan ajakan yang selalu
disampaikan oleh para Rasul terdahulu kepada kaum mereka: 'wahai kaumku!
Sembahlah Allah. kalian tidak memiliki Tuhan selainNya'. Beliau juga, mulai
memamerkan cara beribadahnya kepada Allah di depan mata kepala mereka sendiri;
beliau melakukan shalat di halaman ka'bah pada siang hari secara
terang-terangan dan dihadapan khalayak ramai.
Dakwah yang beliau lakukan tersebut semakin mendapatkan sambutan sehingga banyak orang yang masuk ke dalam Dienullah satu per-satu. Namun kemudian antara mereka (yang sudah memeluk Islam) dan keluarga mereka yang belum memeluk Islam terjadi gap; saling membenci, menjauhi dan berkeraskepala. Melihat hal ini, kaum Quraisy merasa gerah dan pemandangan semacam ini amat menyakitkan mereka.
Sidang Majlis membahas upaya menghalangi Jemaah Haji agar tidak mendengarkan Dakwah Muhammad
Sepanjang hari-hari tersebut, ada hal lain yang membuat kaum Quraisy gundah gulana; yaitu bahwa belum beberapa hari atau bulan saja dakwah jahriyyah tersebut berlangsung hingga (tak terasa) mendekati musim haji. Dalam hal ini, kaum Quraisy mengetahui bahwa delegasi Arab akan datang ke negeri mereka. Oleh karena itu, mereka melihat perlunya merangkai satu pernyataan yang nantinya (secara sepakat) mereka sampaikan kepada delegasi tersebut perihal Muhammad agar dakwah yang disiarkannya tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap jiwa-jiwa mereka (delegasi Arab tersebut). Maka berkumpullah mereka di rumah al-Walid bin al-Mughirah untuk membicarakan satu pernyataan yang tepat dan disepakati bersama tersebut.
Dakwah yang beliau lakukan tersebut semakin mendapatkan sambutan sehingga banyak orang yang masuk ke dalam Dienullah satu per-satu. Namun kemudian antara mereka (yang sudah memeluk Islam) dan keluarga mereka yang belum memeluk Islam terjadi gap; saling membenci, menjauhi dan berkeraskepala. Melihat hal ini, kaum Quraisy merasa gerah dan pemandangan semacam ini amat menyakitkan mereka.
Sidang Majlis membahas upaya menghalangi Jemaah Haji agar tidak mendengarkan Dakwah Muhammad
Sepanjang hari-hari tersebut, ada hal lain yang membuat kaum Quraisy gundah gulana; yaitu bahwa belum beberapa hari atau bulan saja dakwah jahriyyah tersebut berlangsung hingga (tak terasa) mendekati musim haji. Dalam hal ini, kaum Quraisy mengetahui bahwa delegasi Arab akan datang ke negeri mereka. Oleh karena itu, mereka melihat perlunya merangkai satu pernyataan yang nantinya (secara sepakat) mereka sampaikan kepada delegasi tersebut perihal Muhammad agar dakwah yang disiarkannya tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap jiwa-jiwa mereka (delegasi Arab tersebut). Maka berkumpullah mereka di rumah al-Walid bin al-Mughirah untuk membicarakan satu pernyataan yang tepat dan disepakati bersama tersebut.
Mereka berkata kepadanya: "Katakan kepada kami pendapatmu yang akan kami jadikan acuan!".
Lalu dia berkata: "justru kalian yang harus mengemukakan pendapat kalian biar aku dengar dulu".
Mereka berkata: "(kita katakan) dia (Muhammad) adalah seorang dukun".
Dia menjawab: "Tidak! Demi Allah dia bukanlah seorang dukun. Kita telah melihat bagaimana kondisi para dukun sedangkan yang dikatakannya bukan seperti komat-kamit ataupun sajak (mantera-mantera) para dukun".
Mereka berkata lagi: "kita katakan saja; dia seorang yang gila".
Dia menjawab: "Tidak! Demi Allah! dia bukan seorang yang gila. Kita telah mengetahui esensi gila dan telah mengenalnya sedangkan yang dikatakannya bukan dalam kategori ketercekikan, kerasukan ataupun was-was sebagaimana kondisi kegilaan tersebut".
Mereka berkata lagi: "kalau begitu kita katakan saja; dia adalah seorang Penya'ir' ".
Dia menjawab: "Dia bukan seorang Penya'ir. Kita telah mengenal semua bentuk sya'ir; rajaz, hazaj, qaridh, maqbudh dan mabsuth-nya sedangkan yang dikatakannya bukanlah sya'ir".
Mereka berkata lagi: "Kalau begitu; dia adalah Tukang sihir".
Dia menjawab: "Dia bukanlah seorang Tukang sihir. Kita telah melihat para tukang sihir dan jenis-jenis sihir mereka sedangkan yang dikatakannya bukanlah jenis nafts (hembusan) ataupun 'uqad (buhul-buhul) mereka".
Mereka kemudian berkata: "kalau begitu, apa yang harus kita katakan?".
Dia menjawab: "Demi Allah! sesungguhnya ucapan yang dikatakannya itu amatlah manis dan mengandung sihir (saking indahnya). Akarnya ibarat tandan anggur dan cabangnya ibarat pohon yang rindang. Tidaklah kalian merangkai sesuatupun sepertinya melainkan akan diketahui kebathilannya. Sesungguhnya, pendapat yang lebih dekat mengenai dirinya adalah dengan mengatakan bahwa dia seorang Tukang sihir yang mengarang suatu ucapan berupa sihir yang mampu memisahkan antara seseorang dengan bapaknya, saudaranya dan isterinya. Mereka semua menjadi terpisah lantaran hal itu".
Sebagian riwayat menyebutkan bahwa tatkala al-Walid menolak semua pendapat yang mereka kemukakan kepadanya; mereka berkata kepadanya: "kemukakan kepada kami pendapatmu yang tidak ada celanya!". Lalu dia berkata kepada mereka: "beri aku kesempatan barang sejenak untuk memikirkan hal itu!". Lantas al-Walid berfikir dan menguras fikirannya hingga dia dapat menyampaikan kepada mereka pendapatnya tersebut sebagaimana yang disinggung diatas.
Dan mengenai al-Walid ini, Allah Ta'ala menurunkan enam belas ayat dari surat al-Muddatstsir, yaitu dari ayat 11 hingga ayat 26; dipertengahan ayat-ayat tersebut terdapat gambaran bagaimana dia berfikir keras, Dia Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya) [18]. maka celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan,[19]. kemudian celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan, [20]. kemudian dia memikirkan, [21]. sesudah itu dia bermasam muka dan merengut, [22]. kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri, [23]. lalu dia berkata:"(al-Qur'an) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu), [24]. ini tidak lain hanyalah perkataan manusia". [25].
Setelah majlis menyepakati keputusan tersebut, mereka mulai melaksanakannya; duduk-duduk di jalan-jalan yang dilalui orang hingga delegasi Arab datang pada musim haji. Setiap ada orang yang lewat, mereka peringatkan dan singgung kepadanya perihal Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam .
Sedangkan yang dilakukan oleh Rasululllah Shallallâhu 'alaihi wasallam manakala sudah datang musimnya adalah mengikuti dan membuntuti orang-orang sampai ke rumah-rumah mereka, di pasar 'Ukazh, Majinnah dan Dzul Majaz. Beliau mengajak mereka ke jalan Allah namun Abu Lahab yang selalu membuntuti di belakang beliau memotong setiap ajakan beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam dengan berbalik mengatakan kepada mereka: "jangan kalian ta'ati dia karena sesungguhnya dia adalah seorang Shabi' (orang yang mengikuti syari'at nabi-nabi zaman dahulu atau orang yang menyembah bintang atau menyembah dewa-dewa) lagi Pendusta".
Akhir yang terjadi, justru dari musim itu delegasi Arab banyak mengetahui perihal Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam sehingga namanya menjadi buah bibir orang di seantero negeri Arab.
Metode-Metode yang digunakan dalam menghadapi Dakwah Islamiyyah
Manakala kaum Quraisy menyelesaikan rituil haji, mereka segera memikirkan metode-metode yang bakal digunakan dalam menghadapi dakwah Islamiyyah di tempat bertolaknya, lalu mereka memilih beberapa metode berikut:
- Mengejek, menghina, merendahkan, mendustai dan menertawakan :
Target mereka adalah menghinakan kaum Muslimin dan melemahkan semangat juang mereka. Mereka menuduh nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam dengan tuduhan-tuduhan yang kerdil dan celaan-celaan yang nista; menjuluki beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam sebagai orang gila , dalam firmanNya: "dan mereka berkata: "Hai orang yang diturunkan kepadanya adz-Dzikr (al-Qur'an), sesungguhnya engkau adalah orang yang benar-benar gila". (Q.S.15/ al-Hijr: 6). Mereka juga menuduh beliau sebagai tukang sihir dan pendusta, dalam firmanNya: "Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata :"ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta". (Q.S. 38/Shaad: 4). Mereka mengunjungi dan menyambut beliau dengan penuh rasa dendam dan gemuruh kemarahan, {Allah berfirman}: "Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar al-Qur'an dan mereka berkata:"Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang yang gila". (QS. 68/al-Qalam:51).
Bila beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam sedang duduk-duduk dan disekitarnya shabat-shahabat beliau yang terdiri dari al- Mustadh'afun (kaum-kaum lemah), mereka mengejek sembari berkata: "(semacam) mereka itulah teman-teman duduknya (ngobrol), {Allah berfirman}: "orang-orang semacam itukah diantara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?". (Q.S. 6/al-An'am: 53), lalu Allah membantah ucapan mereka tersebut: "Tidakkah Allah mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepadaNya)?". (Q.S. 6/al-An'am: 53). Kondisi mereka sebenarnya persis sebagaimana yang dikisahkan oleh Allah kepada kita, dalam firmanNya: "Sesungguhnya orang-orang yang berdusta, adalah mereka yang dahulunya (di dunia) mentertawakan orang-orang yang beriman (29). Dan apabila orang-orang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedipkan matanya (30). Dan apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira (31). Dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan: 'sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat (32). Padahal orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang mukmin (33)". [Q.S. 83/al-Muththaffifiin: 29-33].
- Memperburuk citra ajaran-ajaran yang dibawanya, menyebarkan syubhat-syubhat, mempublikasikan dakwaan-dakwaan dusta, menyiarkan statement-statement yang keliru seputar ajaran-ajaran, diri dan pribadi beliau serta membesar-besarkan tentang hal itu:
Tindakan tersebut mereka maksudkan untuk tidak memberi kesempatan kepada orang-orang awam merenungi dakwahnya: Mereka selalu berkata tentang al-Qur'an: {Allah berfirman}: "dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang" (Q.S.25/al-Furqan: 5). {Dan firmanNya}: "al-Qur'an ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad dan dia dibantu oleh kaum yang lain…". (Q.S. 25/al-Furqan: 4). Mereka sering berkata: {dalam firmanNya}: "sesungguhnya al-Qur'an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)". (Q.S. 16/an-Nahl: 103). Mereka juga sering mengatakan tentang Rasululullah : {dalam firmanNya}: "mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?". (Q.S.25/al-Furqan: 7). Di dalam al-Qur'an terdapat banyak contoh bantahan terhadap statement-statement mereka setelah menukilnya ataupun tanpa menukilnya.
- Menghalangi orang-orang agar tidak dapat mendengarkan al-Qur'an dan mengimbanginya dengan dongengan-dongengan orang-orang dahulu serta membuat sibuk mereka dengan hal itu:
Mereka menyebutkan bahwa an-Nadhar bin al-Harits pergi ke Hirah. Disana dia belajar cerita-cerita tentang raja-raja Persia, cerita-cerita tentang Rustum dan Asvandiar. Jika Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam sedang duduk-duduk di suatu majlis dalam rangka berwasiat kepada Allah dan mengingatkan manusia akan pembalasan-Nya, maka seusai beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam melakukan hal itu; an-Nadhar berbicara kepada orang-orang sembari berkata: "Demi Allah! ucapan Muhammad tersebut tidaklah lebih baik dari ucapanku ini". Kemudian dia mengisahkan kepada mereka tentang cerita raja-raja Persia, Rustum dan Asvandiar. Setelah itu, dia berceloteh: "Kalau begitu, bagaimana bisa ucapan Muhammad lebih bagus dari ucapanku ini?".
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas disebutkan bahwa an-Nadhar membeli seorang budak perempuan. Maka, setiap dia mendengarkan ada seseorang yang tertarik terhadap Islam, dia segera menggandengnya menuju budak perempuannya tersebut, lalu berkata (kepada budak perempuannya): "beri dia makan, minum dan penuhi kebutuhannya. Ini adalah lebih baik dari apa yang diajak oleh Muhammad kepadamu". Maka turunlah ayat mengenai dirinya, Allah berfirman: "Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah…". (Q.S.31/Luqman: 6).
2. Beragam Penindasan
Kaum Musyrikun menjalankan metode-metode terdahulu sedikit-demi sedikit untuk mengekang perkembangan dakwah Islamiyyah setelah kemunculannya pada permulaan tahun IV kenabian. Mereka baru sebatas melakukan metode-metode tersebut selama beberapa minggu dan bulan, tidak bergeser ke metode yang baru. Akan tetapi, manakala mereka melihat bahwa metode-metode tersebut tidak membuahkan hasil sama sekali dalam upaya menggagalkan dakwah Islamiyyah; mereka mengadakan pertemuan sekali lagi untuk memusyawarahkan hal tersebut antar sesama mereka.
Akhirnya, mereka memutuskan untuk melakukan penyiksaan terhadap kaum Muslimin
dan menguji dien mereka. Tindakan yang diambil pertama kali adalah bergeraknya
masing-masing kepala suku untuk menginterogasi siapa saja yang masuk Islam dari
kabilah mereka, kemudian ditindaklanjuti oleh bawahan dan kroco-kroco mereka.
Maka mulailah mereka mendera kaum Muslimin dengan berbagai siksaan yang membuat
bulu kuduk merinding dan hati tersayat-sayat mendengarnya:
Adalah Abu Jahal, bila mendengar seorang laki-laki masuk Islam, berketurunan bangsawan serta memiliki perlindungan (suaka), maka dia mencaci, menghina serta mengancamnya dengan mengatakan bahwa dia akan membuatnya mengalami kerugian materil dan psikologis. Sedangkan bila orang tersebut lemah maka dia menggebuk dan menghasutnya.
'Utsman bin 'Affan digulung oleh pamannya ke dalam tikar yang terbuat dari daun-daun kurma, kemudian diasapi dari bawahnya.
Mush'ab bin 'Umair, manakala ibundanya mengetahui keislamannya, membiarkan dirinya kelaparan dan mengusirnya dari rumah padahal sebelumnya dia termasuk orang yang hidup berkecukupan. Lantaran tindakan ibundanya tersebut, kulitnya menjadi bersisik layaknya kulit ular.
Shuhaib bin Sinan ar-Rumy disiksa hingga kehilangan ingatan dan tidak memahami apa yang dibicarakannya sendiri.
Adalah Abu Jahal, bila mendengar seorang laki-laki masuk Islam, berketurunan bangsawan serta memiliki perlindungan (suaka), maka dia mencaci, menghina serta mengancamnya dengan mengatakan bahwa dia akan membuatnya mengalami kerugian materil dan psikologis. Sedangkan bila orang tersebut lemah maka dia menggebuk dan menghasutnya.
'Utsman bin 'Affan digulung oleh pamannya ke dalam tikar yang terbuat dari daun-daun kurma, kemudian diasapi dari bawahnya.
Mush'ab bin 'Umair, manakala ibundanya mengetahui keislamannya, membiarkan dirinya kelaparan dan mengusirnya dari rumah padahal sebelumnya dia termasuk orang yang hidup berkecukupan. Lantaran tindakan ibundanya tersebut, kulitnya menjadi bersisik layaknya kulit ular.
Shuhaib bin Sinan ar-Rumy disiksa hingga kehilangan ingatan dan tidak memahami apa yang dibicarakannya sendiri.
Bilal, maula Umayyah bin Khalaf al-Jumahi mengalami perlakuan yang sangat kejam
dari majikannya. Pundaknya diikat dengan tali lantas tali tersebut diserahkan
kepada anak-anak kecil untuk diseret dan dibawa keliling sepanjang pegunungan
Mekkah. Akibatnya, bekas tali tersebut masih nampak di pundaknya. Umayyah, sang
majikan selalu mengikatnya kemudian menderanya dengan tongkat. Kadang ia
dipaksa duduk di bawah teriknya sengatan matahari. Ia juga pernah dipaksa
lapar. Puncak dari itu semua adalah saat dia dibawa keluar pada hari yang
suhunya sangat panas, kemudian dibuang ke Bathha' (tanah lapang berkerikil)
Mekkah. Setelah itu, ia ditindih dengan batu besar dan ditaruh ke atas dadanya.
Ketika itu, berkata Umayyah kepadanya: "Tidak, demi Allah! engkau akan tetap
mengalami seperti ini sampai engkau mati atau engkau kafir terhadap (ajaran)
Muhammad dan menyembah al-Laata dan al-'Uzza". Meskipun dalam kondisi
demikian, ia tetap berteriak: "Ahad, Ahad". Mereka terus menyiksanya
hingga suatu hari Abu Bakar melewatinya, lalu membelinya dan menukarkannya
dengan seorang anak berkulit hitam. Ada riwayat yang mengatakan: dengan tujuh
uqiyyah (satu uqiyyah= 12 dirham atau 28 gram-red) atau lima uqiyyah dari
perak, kemudian beliau memerdekakannya.
'Ammar bin Yasir maula Bani Makhzum sekeluarga radhiallaahu 'anhum ; dia, ayahnya dan ibunya yang masuk Islam tak luput dari penganiayaan. mereka diseret keluar menuju al-Abthah (suatu tempat di Mekkah) oleh kaum Musyrikin yang dipimpin oleh Abu Jahal. Saat itu suhu udara sangat panas dan menyengat. Maka dalam kondisi seperti itulah mereka menyiksa keluarga tersebut. Ketika mereka sedang menjalani siksaan, Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam melintas di hadapan mereka sembari bersabda: "Bersabarlah wahai Ali Yasir (keluarga besar Yasir)! Sesungguhnya tempat yang dijanjikan untuk kalian adalah surga". Yasir, ayahnya meninggal dunia dalam siksaan tersebut sedangkan ibunya, Sumayyah ditusuk oleh Abu Jahal dari arah qubulnya dengan tombak dan meninggal dunia seketika. Dialah syahidah (wanita yang mati syahid) pertama dalam Islam. Setelah itu, kaum Musyrikin tersebut meningkatkan frekuensi siksaan mereka terhadap 'Ammar; terkadang dengan menjemurnya saja, terkadang dengan meletakkan batu besar yang memerah (saking panasnya) diatas dadanya dan terkadang dengan menenggelamkannya alias membenamkan mukanya ke dalam air.
Kala itu, mereka
berkata kepadanya: "kami tidak akan terus menyiksamu hingga engkau mencaci
Muhammad atau mengatakan sesuatu yang baik terhadap al-Laata dan al-'Uzza. Maka,
dia pun secara terpaksa menyetujui hal itu. Setelah itu dia mendatangi Nabi
sambil menangis dan meminta ma'af atas kejadian tersebut kepada beliau
Shallallâhu 'alaihi wasallam. Ketika itu, turunlah ayat: "Barangsiapa yang
kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan dari Allah),
kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman
(dia tidak berdosa)…". (Q.S. 16/an-Nahl: 106).
Abu Fakihah –namanya Aflah– seorang maula Bani 'Abdi ad-Daar mukanya dijerembabkan oleh kaum Musyrikin ke tanah yang melepuh oleh terik matahari, kemudian diletakkan diatas punggungnya sebuah batu besar hingga dia tak dapat bergerak lagi. Dia dibiarkan dalam keadaan demikian hingga hilang ingatan. Suatu kali, mereka mengikat kakinya dengan tali, lalu menyeretnya dan melemparkannya ke tanah yang melepuh oleh terik matahari seperti yang dilakukan terhadapnya sebelumnya, kemudian mencekiknya hingga mereka mengira dia telah mati. Saat itu, Abu Bakar melewatinya lalu membeli dan memerdekakannya karena Allah Ta'ala.
Khabbab bin al-Aratt, maula Ummi Anmaar binti Siba' al-Khuza'iyyah disiksa oleh kaum Musyrikin dengan aneka siksaan; rambutnya mereka jambak dengan keras sekali, lehernya mereka betot dengan kasar lalu melemparkannya ke dalam api yang membara kemudian –dalam kondisi demikian- jasadnya mereka tarik sehingga api itu terpadamkan oleh lemak yang meleleh dari punggungnya.
Dari kalangan budak Muslimah, terdapat riwayat Zunairah, an-Nahdiyyah dan Ummu 'Ubais. Tatkala mereka masuk Islam, kaum Musyrikinpun melakukan penyiksaan terhadap mereka sama seperti yang telah dilakukan terhadap para shahabat sebelumnya diatas.
'Ammar bin Yasir maula Bani Makhzum sekeluarga radhiallaahu 'anhum ; dia, ayahnya dan ibunya yang masuk Islam tak luput dari penganiayaan. mereka diseret keluar menuju al-Abthah (suatu tempat di Mekkah) oleh kaum Musyrikin yang dipimpin oleh Abu Jahal. Saat itu suhu udara sangat panas dan menyengat. Maka dalam kondisi seperti itulah mereka menyiksa keluarga tersebut. Ketika mereka sedang menjalani siksaan, Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam melintas di hadapan mereka sembari bersabda: "Bersabarlah wahai Ali Yasir (keluarga besar Yasir)! Sesungguhnya tempat yang dijanjikan untuk kalian adalah surga". Yasir, ayahnya meninggal dunia dalam siksaan tersebut sedangkan ibunya, Sumayyah ditusuk oleh Abu Jahal dari arah qubulnya dengan tombak dan meninggal dunia seketika. Dialah syahidah (wanita yang mati syahid) pertama dalam Islam. Setelah itu, kaum Musyrikin tersebut meningkatkan frekuensi siksaan mereka terhadap 'Ammar; terkadang dengan menjemurnya saja, terkadang dengan meletakkan batu besar yang memerah (saking panasnya) diatas dadanya dan terkadang dengan menenggelamkannya alias membenamkan mukanya ke dalam air.
Abu Fakihah –namanya Aflah– seorang maula Bani 'Abdi ad-Daar mukanya dijerembabkan oleh kaum Musyrikin ke tanah yang melepuh oleh terik matahari, kemudian diletakkan diatas punggungnya sebuah batu besar hingga dia tak dapat bergerak lagi. Dia dibiarkan dalam keadaan demikian hingga hilang ingatan. Suatu kali, mereka mengikat kakinya dengan tali, lalu menyeretnya dan melemparkannya ke tanah yang melepuh oleh terik matahari seperti yang dilakukan terhadapnya sebelumnya, kemudian mencekiknya hingga mereka mengira dia telah mati. Saat itu, Abu Bakar melewatinya lalu membeli dan memerdekakannya karena Allah Ta'ala.
Khabbab bin al-Aratt, maula Ummi Anmaar binti Siba' al-Khuza'iyyah disiksa oleh kaum Musyrikin dengan aneka siksaan; rambutnya mereka jambak dengan keras sekali, lehernya mereka betot dengan kasar lalu melemparkannya ke dalam api yang membara kemudian –dalam kondisi demikian- jasadnya mereka tarik sehingga api itu terpadamkan oleh lemak yang meleleh dari punggungnya.
Dari kalangan budak Muslimah, terdapat riwayat Zunairah, an-Nahdiyyah dan Ummu 'Ubais. Tatkala mereka masuk Islam, kaum Musyrikinpun melakukan penyiksaan terhadap mereka sama seperti yang telah dilakukan terhadap para shahabat sebelumnya diatas.
Seorang budak perempuan Bani Muammal –mereka adalah dari suku Bani 'Adiy–
dipukul oleh 'Umar bin al-Khaththab, kala ia masih Musyrik, dan manakala merasa
jenuh, dia berkata: "sesungguhnya yang membuatku membiarkanmu hanyalah
karena kejenuhan".
Semua budak-budak wanita tersebut dibeli oleh Abu Bakar kemudian dimerdekakannya sebagaimana yang telah dilakukannya terhadap Bilal dan 'Amir bin Fuhairah.
Kaum Musyrikin juga pernah membungkus sebagian shahabat dalam buntalan yang terbuat dari kulit onta dan sapi, kemudian dilempar ke bumi yang sudah melepuh oleh terik matahari. Sedangkan sebagian yang lain, pernah mereka kenakan baju besi lantas dilemparkan ke atas batu besar yang memanas.
Deretan para korban yang disiksa karena membela dienullah demikian panjang dan amat histeris. Pokoknya, siapa saja yang mereka ketahui telah memeluk Islam maka tak ayal akan dihadang geraknya dan disakiti.
Semua budak-budak wanita tersebut dibeli oleh Abu Bakar kemudian dimerdekakannya sebagaimana yang telah dilakukannya terhadap Bilal dan 'Amir bin Fuhairah.
Kaum Musyrikin juga pernah membungkus sebagian shahabat dalam buntalan yang terbuat dari kulit onta dan sapi, kemudian dilempar ke bumi yang sudah melepuh oleh terik matahari. Sedangkan sebagian yang lain, pernah mereka kenakan baju besi lantas dilemparkan ke atas batu besar yang memanas.
Deretan para korban yang disiksa karena membela dienullah demikian panjang dan amat histeris. Pokoknya, siapa saja yang mereka ketahui telah memeluk Islam maka tak ayal akan dihadang geraknya dan disakiti.
Sikap Kaum Musyrikin terhadap Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam
Adapun Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam (kala itu) tidaklah mengalami siksaan yang sedemikian. Beliau adalah seorang ksatria, terhormat dan sosok yang langka. Baik kawan maupun lawan sama-sama segan dan mengagungkannya; setiap orang yang berjumpa dengannya, pasti akan menyambutnya dengan rasa hormat dan pengagungan. Tidak seorangpun yang berani melakukan perbuatan tak senonoh dan hinadina terhadap beliau selain manusia-manusia kerdil dan picik. Disamping itu, beliau juga mendapatkan perlindungan (suaka) dari pamannya, Abu Thalib yang merupakan tokoh terpandang di Mekkah. Dia memang terpandang nasabnya dan disegani orang. Oleh karena itu, amatlah sulit bagi seseorang untuk melecehkan orang yang sudah berada dalam perlindungannya. Kondisi ini tentu amat mencemaskan kaum Quraisy dan membuat mereka terjepit sehingga tidak dapat berbuat banyak. Hal ini, memaksa mereka untuk memikirkan secara jernih jalan keluarnya tanpa harus berurusan dengan wilayah larangan yang bila tersentuh tentu akibatnya tidak diharapkan. Akhirnya, mereka mendapatkan ide penyelesaiannya, yaitu dengan memilih jalan berunding dengan sang penanggung jawab terbesar; Abu Thalib. Akan tetapi tentunya dengan lebih banyak melakukan pendekatan secara hikmah dan ekstra serius, disisipi dengan trik menantang dan ultimatum terselubung sampai dia mau tunduk dan mendengarkan apa yang mereka katakan.
Utusan Quraisy menghadap Abu Thalib
Ibnu Ishaq berkata: "sekelompok tokoh bangsawan kaum Quraisy menghadap Abu Thalib, lalu berkata kepadanya: 'wahai Abu Thalib! Sesungguhnya keponakanmu telah mencaci tuhan-tuhan kita, mencela agama kita, membuyarkan impian kita dan menganggap sesat nenek-nenek moyang kita. Karenanya, engkau hanya punya dua alternatif: mencegahnya atau membiarkan kami dan dia menyelesaikan urusan ini. Sesungguhnya kondisimu adalah sama seperti kami, tidak sependapat dengannya, oleh karena itu kami berharap dapat mengandalkanmu dalam menjinakkannya'. Abu Thalib berkata kepada mereka dengan tutur kata yang lembut dan membalasnya dengan cara yang halus dan baik. Setelah itu mereka pun akhirnya undur diri. Sementara itu, Rasulullah tetap melakukan aktivitas seperti biasanya; mengkampanyekan dienullah dan mengajak kepadanya". Akan tetapi, orang-orang Quraisy tidak dapat berlama-lama sabar manakala melihat beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam terus melakukan aktivitasnya tersebut dan berdakwah kepada Allah bahkan hal itu semakin membuat mereka mempersoalkannya dan mengumpatinya. Lantaran itu pula, mereka kemudian memutuskan untuk menghadap Abu Thalib sekali lagi namun dengan cara yang lebih kasar dan keras daripada sebelumnya.
Kaum Quraisy mengultimatum Abu Thalib
Para tokoh kaum Quraisy kembali mendatangi Abu Thalib seraya berkata kepadanya: "wahai Abu Thalib! Sesungguhnya kami menghargai usia, kebangsawanan dan kedudukanmu. Dan sesungguhnya pula, kami telah memintamu menghentikan gelagat keponakanmu itu, namun engkau tidak melakukannya. Sesungguhnya kami, demi Allah! tidak akan mampu bersabar atas perbuatan mencela nenek moyang kami, membuyarkan impian kami dan mencemooh tuhan-tuhan kami hingga engkau mencegahnya sendiri atau kami yang akan membuat perhitungan dengannya dan denganmu sekaligus. Setelah itu, kita lihat siapa diantara dua kelompok ini yang akan binasa".
Ancaman dan ultimatum yang keras tersebut sempat membuat nyali Abu Thalib bergetar juga, karenanya dia menyongsong Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam sembari berkata kepadanya: "wahai keponakanku! Sesungguhnya kaummu telah mendatangiku dan mengatakan begini dan begitu kepadaku. Oleh karena itu berdiamlah demi kemaslahatanku dan dirimu sendiri. Janganlah engkau membebaniku dengan sesuatu yang tak mampu aku lakukan!". Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam mengira bahwa dengan ini pamannya telah mengucilkannya dan tak mampu lagi melindungi dirinya, maka beliaupun menjawab: "wahai pamanku! Demi Allah! andaikata mereka letakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan agama ini -hingga Allah memenangkannya atau aku binasa karenanya- niscaya aku tidak akan meninggalkannya". Beliau mengungkapkannya dengan berlinang air mata dan tersedu, lalu berdiri untuk berpaling namun ketika itu, pamannya memanggilnya dan menghampirinya sembari berkata: "Pergilah wahai keponakanku! Katakanlah apa yang engkau suka, demi Allah! aku tidak akan pernah selamanya menyerahkanmu kepada siapapun!". Lalu dia merangkai beberapa untai bait (artinya):
Demi Allah! mereka semua tidak akan dapat menjamahmu
Hingga aku terkubur berbantalkan tanah
Berterang-teranganlah dengan urusanmu, tiada cela bagimu
Bergembira dan bersuka citalah dengan hal itu
Kaum Quraisy kembali menghadap Abu Thalib
Tatkala kaum Quraisy melihat Rasulullah masih terus melakukan aktivitasnya, tahulah mereka bahwa Abu Thalib tak berkeinginan untuk mengucilkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dan telah bulat hatinya untuk memisahkan diri dan memusuhi mereka. Maka sebagai upaya membujuk, mereka membawa 'Imarah bin al-Walid bin al-Mughirah ke hadapannya seraya berujar: "wahai Abu Thalib! Sesungguhnya ini ada seorang pemuda yang paling rupawan dan tampan di kalangan kaum Quraisy! Ambillah dia, maka dengan begitu, engkau dapat berbuat sesukamu; mengikatnya atau membebaskannya (membelanya). Jadikanlah dia sebagai anakmu, maka dia jadi milikmu. Lalu serahkan kepada kami keponakanmu yang telah menyelisihi agamamu dan agama nenek-nenek moyangmu itu, mencerai beraikan persatuan kaummu, membuyarkan impian mereka untuk kami bunuh. Ini adalah barter diantara kita dan menjadi impas; seorang dengan seorang". Abu Thalib menjawab: "Demi Allah! sungguh tawaran kalian tersebut sesuatu yang murahan! Apakah kalian ingin memberikan kepadaku anak kalian ini agar aku beri makan untuk kepentingan kalian sementara aku memberikan anakku agar kalian bunuh?. Demi Allah! ini tidak akan pernah terjadi!". Al-Muth'im bin 'Adiy bin Naufal bin 'Abdu Manaf berkata: "Demi Allah, wahai Abu Thalib! Kaummu telah berbuat adil terhadapmu dan berupaya untuk membebaskanmu dari hal yang tidak engkau sukai. Jadi, apa sebabnya aku lihat engkau tidak mau menerima sesuatupun dari tawaran mereka?". Dia menjawab: "Demi Allah! kalian bukannya berbuat adil terhadapku, akan tetapi kalian telah bersepakat menghinakanku dan mengkonfrontasikanku dengan kaum Quraisy. Oleh sebab itu, lakukanlah apa yang ingin kalian lakukan!".
Ketika kaum Quraisy gagal dalam perundingan tersebut dan tidak berhasil membujuk Abu Thalib untuk mencegah Rasululullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dan mengekang laju dakwahnya kepada Allah; maka mereka pun memutuskan untuk memilih langkah yang sebelumnya telah berupaya mereka hindari dan tidak menyerempetnya karena khawatir akan akibat serta implikasinya, yaitu langkah memusuhi pribadi Rasululullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.
Bentuk-Bentuk Pelecehan mereka terhadap Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam
Kaum Quraisy membatalkan sikap pengagungan dan penghormatan yang dulu pernah mereka tampakkan terhadap Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam semenjak munculnya dakwah Islamiyyah di lapangan. Memang, sungguh sulit merubah sikap yang terbiasa dengan kebengisan dan kesombongan untuk berlama-lama sabar, maka dari itu, mereka mulai mengulurkan tangan permusuhan terhadap Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Sebagai implementasinya, mereka melakukan berbagai bentuk ejekan, hinaan, pencemaran nama baik, pengaburan, keusilan dan lain sebagainya. Tentunya, sudah lumrah bila yang pertama-tama menjadi ujung tombaknya adalah Abu Lahab sebab dia adalah seorang kepala suku Bani Hasyim. Dia tidak pernah memikirkan pertimbangan apapun sebagaimana yang selalu dipertimbangkan oleh tokoh-tokoh Quraisy lainnya. Dia adalah musuh bebuyutan Islam dan para pemeluknya. Sejak pertama, dia sudah menghadang Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam sebelum kaum Quraisy berkeinginan melakukan hal itu. Kita telah membahas bagaimana prilaku mereka terhadap Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam di majlis Bani Hasyim dan di bukit Shafa. Sebelum beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam diutus, Abu Lahab telah mengawinkan kedua anaknya; 'Utbah dan 'Utaibah dengan kedua putri Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam; Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Namun tatkala beliau diutus menjadi Rasul, dia memerintahkan kedua anaknya tersebut agar menceraikan kedua putri beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam dengan cara yang kasar dan keras, hingga akhirnya terjadilah perceraian itu.
Ketika 'Abdullah, putra kedua Rasulullah wafat, Abu Lahab amat gembira dan menyampiri semua kaum Musyrikin untuk memberitakan perihal Muhammad yang sudah menjadi Abtar (orang yang terputus/buntung)*.
*Terhadapnya Allah Ta'ala menurunkan ayat 3, surat al-Kautsar –red.
Sebagaimana dalam bahasan terdahulu, bahwa Abu Lahab selalu menguntit di belakang Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam saat musim haji dan di pasar-pasar sebagai upaya mendustakannya. Dalam hal ini, Thariq bin 'Abdullah al-Muhariby meriwayatkan suatu berita yang intinya bahwa yang dilakukannya tidak sekedar mendustakan Rasulullah, akan tetapi lebih dari itu, dia juga memukul beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam dengan batu hingga kedua tumit beliau berdarah.
Isteri Abu Lahab, Ummu Jamil binti Harb bin Umayyah saudara perempuan Abu Sufyan, tidak kalah frekuensi permusuhannya terhadap Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam dibanding sang suami. Dia pernah membawa dedurian dan menebarkannya di jalan yang dilalui oleh Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam bahkan juga, di depan pintu rumah beliau pada malam harinya. Dia adalah sosok perempuan yang judes. Lisannya selalu dijulurkan untuk mencaci beliau, mengarang berita dusta dan berbagai isu, menyulutkan api fitnah serta mengobarkan perang membabibuta terhadap Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam. Oleh karena itulah, al-Qur'an menyifatinya dengan Hammaalatal Hathab (wanita pembawa kayu bakar).
Ketika dia mendengar ayat al-Qur'an yang turun mengenainya dan suaminya, dia langsung mendatangi Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam yang sedang duduk-duduk bersama Abu Bakar ash-Shiddiq. Dia telah membawa segenggam batu ditangannya, namun ketika dia berdiri di hadapan keduanya, Allah membutakan pandangannya dari beliau sehingga dia tidak melihat selain Abu Bakar, lantas dia berkata: "wahai Abu Bakar! Mana shahabatmu itu? Aku mendapat berita bahwa dia telah mengejekku. Demi Allah! andai aku menemuinya niscaya akan aku tampar mulutnya dengan segenggam batu ini. Demi Allah! Bukankah sesungguhnya aku ini seorang Penyair?. Kemudian dia menguntai bait berikut (artinya):
Si tercela yang kami tentang, Urusannya yang kami tolak, Diennya yang kami benci
Kemudian dia berlalu. Setelah kepergiannya, Abu Bakar lantas berkata: "wahai Rasulullah! Adakah engkau melihatnya tidak dapat melihatmu?". Beliau menjawab: "Dia tidak dapat melihatku. Sungguh! Allah telah membutakan pandangannya dariku".
Abu Bakar al-Bazzar meriwayatkan kisah diatas. Di dalamnya disebutkan bahwa ketika dia berdiri di hadapan Abu Bakar, dia berkata: "wahai Abu Bakar! Shahabatmu itu telah mengejek kami". Abu Bakar menjawab: "Tidak, demi Rabb bangunan ini (Ka'bah)! Dia tidak pernah berbicara dengan memakai sya'ir ataupun melantunkannya". Dia menjawab: "Sungguh! apa yang engkau ucapkan memang benar".
Demikianlah yang dilakukan oleh Abu Lahab padahal beliau adalah paman beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam sekaligus tetangganya, rumahnya menempel dengan rumah beliau. Sama seperti tetangga-tetangga beliau yang lain yang selalu mengganggu beliau padahal beliau tengah berada di dalam rumah.
Ibnu Ishaq berkata: "Mereka yang selalu mengganggu Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam saat beliau berada di rumah tersebut adalah Abu Lahab, al-Hakam bin Abi al-'Ash bin Umayyah, 'Uqbah bin Abi Mu'ith, 'Adiy bin Hamra' ats-Tsaqafy dan Ibnu al-Ashda' al-Hazaly. Semuanya adalah tetangga-tetangga beliau namun tak seorangpun diantara mereka yang masuk Islam kecuali al-Hakam bin Abi al-'Ash. Salah seorang diantara mereka ada yang melempari beliau dengan rahim kambing saat beliau tengah melakukan shalat. Yang lain lagi, bila priuk milik beliau -yang terbuat dari batu- tengah dipanaskan, pernah memasukkan bangkai tersebut ke dalamnya. Hal ini, membuat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam mamasang tabir agar dapat terlindungi dari mereka manakala beliau tengah melakukan shalat. Bila usai mereka melakukan hal itu, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam membawanya keluar dan meletakkannya diatas sebatang ranting, kemudian berdiri di depan pintu rumahnya lalu berseru: "wahai Bani 'Abdi Manaf! Tetangga-tetangga model apa yang begini kelakuannya?". Kemudian barang tersebut beliau lempar ke jalan.
'Uqbah bin Abi Mu'ith malah melakukan hal yang lebih buruk dan busuk dari itu lagi. Imam Bukhari meriwayatkan dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiallaahu 'anhu bahwa pernah suatu hari Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam melakukan shalat di sisi Baitullah sedangkan Abu Jahal dan rekan-rekannya tengah duduk-duduk. Lalu sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain: "Siapa diantara kalian yang akan membawa kotoran onta? Bani Fulan lalu menumpahkannya ke punggung Muhammad saat dia sedang sujud?". Maka bangkitlah 'Uqbah bin Abi Mu'ith, sosok yang paling sangar diantara mereka, membawa kotoran tersebut sembari memperhatikan gerak-gerik Nabi Muhammad Shallallâhu 'alaihi wasallam. Tatkala beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam beranjak sujud kepada Allah, dia menumpahkan kotoran tersebut ke arah punggungnya diantara dua bahunya. Aku (Ibnu Mas'ud-red) memandangi hal itu dan ingin sekali melakukan sesuatu andai aku memiliki perlindungan (suaka). Lalu mereka tertawa sambil masing-masing saling mencolek dan memiringkan badan satu sama lainnya dengan penuh kesombongan dan keangkuhan sedangkan Rasulullah masih sujud. Beliau tidak dapat mengangkat kepalanya hingga Fathimah datang dan membuang kotoran tersebut dari punggung beliau, barulah beliau mengangkat kepala, kemudian berdoa: 'Ya Allah! berilah balasan (setimpal) kepada kaum Quraisy tersebut'. Beliau mengucapkannya tiga kali. Doa beliau ini menyesakkan hati mereka. Dia (Ibnu Mas'ud-red) bertutur lagi: 'mereka menganggap bahwa berdoa di negeri itu (Mekkah) adalah mustajabah. Kemudian dalam doanya tersebut, beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam menyebutkan nama mereka satu per-satu: ' Ya Allah! binasakanlah Abu Jahal, 'Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah, al-Walid bin 'Utbah, Umayyah bin Khalaf, 'Uqbah bin Abi Mu'ith – Ibnu Mas'ud menyebutkan yang ke tujuh namun tidak mengingat namanya - . Demi Dzat yang jiwaku di tanganNya! Sungguh aku telah melihat orang-orang yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam tewas mengenaskan di al-Qalib , yaitu kuburan di Badar, Madinah". Adapun nama orang yang ke tujuh tersebut adalah 'Imarah bin al-Walid.
Lain lagi yang dilakukan oleh Ummayyah bin Khalaf; bila melihat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam, dia langsung mengumpat dan mencelanya. Karenanya, turunlah terhadapnya ayat: "Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat (al-Humazah) lagi pencela". (Q.S. 104/al-Humazah: 1). Ibnu Hisyam berkata: "kata al-Humazah maknanya adalah orang yang mencemooh seseorang secara terang-terangan dan tanpa tedeng aling-aling, memain-mainkan kedua matanya sambil mengerdipkannya, sedangkan kata al-Lumazah maknanya adalah orang yang mencela manusia secara sembunyi dan menyakiti hati mereka".
Bentuk pelecehan lainnya adalah apa yang diperbuat oleh al-Akhnas bin Syuraiq at-Tsaqafy yang selalu mengerjai Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Untuk itu, al-Qur'an menyifatinya dengan sembilan sifat yang menyingkap perangainya, yaitu firman Allah Ta'ala: " Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina (10). Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah (11). Yang enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa (12). Yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya (13)". (Q.S. 68/al-Qalam: 10-13).
Demikian pula dengan Abu Jahal, terkadang dia datang kepada Rasulullah dan mendengarkan al-Qur'an, kemudian berlalu namun hal itu tidak membuatnya beriman, tunduk, sopan apalagi takut. Bahkan dia menyakiti Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dengan perkataannya, menghadang jalan Allah, berlalu lalang dengan angkuh memproklamirkan apa yang diperbuatnya dan bangga dengan kejahatan yang dilakukannya tersebut seakan sesuatu yang enteng saja. Terhadapnya turunlah ayat: "Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan al-Qur'an) dan tidak mau mengerjakan shalat… dst". (QS. 75/al-Qiyaamah: 31- dst). Dia selalu mencegah Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam untuk melakukan shalat sejak pertama kali melihat beliau melakukannya di Masjid al-Haram. Suatu kali, dia melewati beliau yang sedang melakukan shalat di sisi Maqam (nabi Ibrahim 'alaihissalaam-red), lalu berkata: "wahai Muhammad! Bukankah sudah aku larang engkau melakukan ini?". Dia mengancam beliau, mengasari serta membentaknya. Dia berkata kepada beliau: "wahai Muhammad! Dengan apa engkau akan mengancamku? Demi Allah! bukankah sesungguhnya aku adalah orang yang paling banyak memanggil (berdoa) di lembah ini (Mekkah)". Maka turunlah ayat: "Maka biarkanlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya),[17]. kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah,[18] ". (Q.S.96/al-'Alaq: 17-18).
Dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam mencengkeram lehernya dan menggoyang-goyangkannya sembari membacakan firman Allah: "Kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu,[34]. kemudian kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu.[35]". (Q.S. 75/al-Qiyaamah: 34-35). Lantas musuh Allah itu berkata: "Engkau hendak mengancamku, wahai Muhammad? Demi Allah! engkau dan TuhanMu tidak akan sanggup melakukan apapun. Sesungguhnya aku-lah seperkasa orang yang berjalan diantara dua gunung di Mekkah ini!".
Sekalipun sudah membentak-bentak tersebut, Abu Jahal tidak pernah kapok dari kedunguannya bahkan semakin blingsatan saja. Berkaitan dengan ini, Imam Muslim mengeluarkan dari Abu Hurairah, dia berkata: "Abu Jahal berkata: 'Apakah Muhammad sujud dan menempelkan jidatnya di tanah (shalat) di depan batang hidung kalian?". Salah seorang menjawab: "ya, benar!". Dia berkata lagi: "demi al-Laata dan al-'Uzza! Sungguh aku akan menginjak-injak lehernya dan membenamkan mukanya ke tanah!". Tak berapa lama, datanglah Rasulullah lalu melakukan shalat. Abu Jahal sebelumnya mendakwa akan menginjak-injak lehernya, namun sebaliknya, yang terjadi sungguh mengagetkan mereka; dia tidak jadi bergerak maju dan malah menutupi kedua tangannya untuk berlindung. Mereka lalu bertanya: "wahai Abu Jahal! Ada apa gerangan denganmu?". Dia menjawab: "Sesungguhnya ada parit dari api, sesuatu yang menakutkan dan sayap-sayap yang mengantarai aku dan dia". Kemudian Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam berkata: "andai dia sedikit lagi mendekat kepadaku, niscaya tubuhnya akan disambar malaikat dan terkoyak satu per-satu".
Demikianlah gambaran yang amat mini sehubungan dengan bentuk-bentuk pelecehan dan penganiayaan yang dialami oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dan kaum Muslimin dari para Thaghut kaum Musyrikin yang mendakwa bahwa mereka adalah Ahlullah (Kekasih Allah) dan penduduk tanah haramNya.
Aktivitas di Darul Arqam
Diantara hikmah kenapa Rasulullah dalam menghadapi penindasan-penindasan tersebut, melarang kaum Muslimin memproklamirkan keislaman mereka baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan serta tidak mengizinkan mereka bertemu dengan beliau kecuali secara rahasia adalah karena bila mereka bertemu dengan beliau secara terbuka maka tidak diragukan lagi kaum Musyrikin akan membatasi gerak beliau sehingga keinginan beliau untuk mentazkiyah (menyucikan diri) kaum Muslimin dan mengajarkan mereka al-Kitab dan as-Sunnah akan terhalangi. Dan barangkali, bisa menyebabkan berbenturnya antara kedua belah pihak bahkan (realitasnya) hal itu benar-benar terjadi pada tahun ke empat dari kenabian, yaitu manakala shahabat-shahabat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam berkumpul di lereng-lereng perbukitan tempat mereka melakukan shalat secara rahasia. Tiba-tiba, hal itu terlihat oleh beberapa orang kafir Quraisy. mereka ini lalu mencaci maki dan memerangi mereka. Menghadapi hal itu, Sa'ad bin Abi Waqqash yang merupakan salah seorang dari para shahabat tersebut memukul seorang dari kaum Musyrikin tersebut sehingga tertumpahlah darah ketika itu. Inilah, darah pertama yang tertumpah dalam Islam.
Sebagaimana yang sudah diketahui bahwa bila perbenturan ini terus terulang dan berkepanjangan maka tentunya akan berdampak kepada musnah dan binasanya kaum Muslimin. Oleh karena itu, adalah bijak untuk melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Nyatanya, para shahabat secara umum menyembunyikan keislaman, peribadatan, dakwah dan pertemuan mereka. Sedangkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam melakukannya secara terbuka dalam berdakwah dan beribadah di depan mata kaum Musyrikin. Tidak ada sesuatupun yang dapat menghalang-halanginya. Namun begitu, beliau tetap melakukan pertemuan dengan kaum Muslimin secara rahasia demi kepentingan mereka dan agama Islam. Maka adalah Daar (kediaman) al-Arqam bin Abi al-Arqam berada diatas bukit shafa dan terpencil sehingga luput dari intaian para Thaghut dan bahan pembicaraan persidangan-persidangan mereka. Tempat itulah yang dijadikan oleh beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam sebagai pusat dakwah dan berkumpulnya kaum Muslimin. Disana, beliau membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, menyucikan hati mereka serta mengajarkan mereka al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah).
Diantara hikmah kenapa Rasulullah dalam menghadapi penindasan-penindasan tersebut, melarang kaum Muslimin memproklamirkan keislaman mereka baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan serta tidak mengizinkan mereka bertemu dengan beliau kecuali secara rahasia adalah karena bila mereka bertemu dengan beliau secara terbuka maka tidak diragukan lagi kaum Musyrikin akan membatasi gerak beliau sehingga keinginan beliau untuk mentazkiyah (menyucikan diri) kaum Muslimin dan mengajarkan mereka al-Kitab dan as-Sunnah akan terhalangi. Dan barangkali, bisa menyebabkan berbenturnya antara kedua belah pihak bahkan (realitasnya) hal itu benar-benar terjadi pada tahun ke empat dari kenabian, yaitu manakala shahabat-shahabat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam berkumpul di lereng-lereng perbukitan tempat mereka melakukan shalat secara rahasia. Tiba-tiba, hal itu terlihat oleh beberapa orang kafir Quraisy. mereka ini lalu mencaci maki dan memerangi mereka. Menghadapi hal itu, Sa'ad bin Abi Waqqash yang merupakan salah seorang dari para shahabat tersebut memukul seorang dari kaum Musyrikin tersebut sehingga tertumpahlah darah ketika itu. Inilah, darah pertama yang tertumpah dalam Islam.
Sebagaimana yang sudah diketahui bahwa bila perbenturan ini terus terulang dan berkepanjangan maka tentunya akan berdampak kepada musnah dan binasanya kaum Muslimin. Oleh karena itu, adalah bijak untuk melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Nyatanya, para shahabat secara umum menyembunyikan keislaman, peribadatan, dakwah dan pertemuan mereka. Sedangkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam melakukannya secara terbuka dalam berdakwah dan beribadah di depan mata kaum Musyrikin. Tidak ada sesuatupun yang dapat menghalang-halanginya. Namun begitu, beliau tetap melakukan pertemuan dengan kaum Muslimin secara rahasia demi kepentingan mereka dan agama Islam. Maka adalah Daar (kediaman) al-Arqam bin Abi al-Arqam berada diatas bukit shafa dan terpencil sehingga luput dari intaian para Thaghut dan bahan pembicaraan persidangan-persidangan mereka. Tempat itulah yang dijadikan oleh beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam sebagai pusat dakwah dan berkumpulnya kaum Muslimin. Disana, beliau membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, menyucikan hati mereka serta mengajarkan mereka al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah).
3. Hijrah Pertama menuju negeri Habasyah
Penindasan yang terjadi, pada permulaannya - yakni pada pertengahan atau akhir
tahun ke-4 dari kenabian - adalah tidak seberapa, namun kemudian dari hari demi
hari bahkan bulan demi bulan berubah menjadi lebih sadis dan mengkhawatirkan,
terutama pada pertengahan tahun ke-5 sehingga tiada tempat lagi bagi mereka di
Mekkah dan memaksa mereka untuk memikirkan siasat lolos dari siksaan-siksaan
tersebut. Dalam kondisi yang seperti inilah, turun surat az-Zumar yang
mengisyaratkan perlunya berhijrah dan mengumumkan bahwa bumi Allah tidaklah
sempit, dalam firmanNya: "…orang-orang yang berbuat baik di dunia ini
memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya
orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas".
(Q.S.39/az-Zumar: 10). Rasulullah telah mengetahui bahwa Ash-himah an-Najasyi,
raja Habasyah adalah seorang yang adil, tidak seorangpun yang berada disisinya
terzhalimi; oleh karena itu, beliau memerintahkan kaum Muslimin agar berhijrah
ke sana guna menyelamatkan agama mereka dari fitnah.
Rombongan pertama yang membawa para shahabat bergerak pada bulan Rajab tahun ke-5 dari kenabian. Rombongan ini terdiri dari 12 orang laki-laki dan 4 orang wanita, dikepalai oleh 'Utsman bin 'Affan yang ditemani oleh Ruqayyah binti Rasulillah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Rasulullah menyifati keduanya sebagai "keluarga pertama yang berhijrah di jalan Allah setelah Nabi Ibrahim dan Luth 'alaihimassalaam".
Kepergian mereka dilakukan dengan mengendap-endap pada malam yang gelap-gulita –agar tidak diketahui oleh kaum Quraisy- menuju laut kemudian mengarah ke pelabuhan rakyat. Ternyata, takdir mereka sejalan dan seiring dengan itu dimana ketika itu ada dua buah kapal dagang yang akan berlayar menuju Habasyah dan merekapun ikut serta bersamanya. Kaum Quraisy akhirnya mengetahui hal itu, lalu menelusuri jejak perjalanan kaum muslimin akan tetapi tatkala mereka baru sampai di tepi pantai, kaum muslimin telah bergerak dengan aman. Akhirnya, kaum muslimin menetap di Habasyah dan mendapatkan sebaik-baik pelayanan.
Rombongan pertama yang membawa para shahabat bergerak pada bulan Rajab tahun ke-5 dari kenabian. Rombongan ini terdiri dari 12 orang laki-laki dan 4 orang wanita, dikepalai oleh 'Utsman bin 'Affan yang ditemani oleh Ruqayyah binti Rasulillah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Rasulullah menyifati keduanya sebagai "keluarga pertama yang berhijrah di jalan Allah setelah Nabi Ibrahim dan Luth 'alaihimassalaam".
Kepergian mereka dilakukan dengan mengendap-endap pada malam yang gelap-gulita –agar tidak diketahui oleh kaum Quraisy- menuju laut kemudian mengarah ke pelabuhan rakyat. Ternyata, takdir mereka sejalan dan seiring dengan itu dimana ketika itu ada dua buah kapal dagang yang akan berlayar menuju Habasyah dan merekapun ikut serta bersamanya. Kaum Quraisy akhirnya mengetahui hal itu, lalu menelusuri jejak perjalanan kaum muslimin akan tetapi tatkala mereka baru sampai di tepi pantai, kaum muslimin telah bergerak dengan aman. Akhirnya, kaum muslimin menetap di Habasyah dan mendapatkan sebaik-baik pelayanan.
Kisah sujudnya kaum Musyrikin dan kembalinya kaum muslimin yang berhijrah
Pada bulan Ramadhan di tahun yang sama, Rasulullah pergi ke mesjid al-Haram. Ketika itu, sekumpulan besar kaum Quraisy tengah berada disana; terdapat para pemuka dan tokoh-tokoh mereka. Beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam kemudian berdiri di tengah mereka sembari melantunkan surat an-Najm tanpa sepengetahuan mereka alias secara tiba-tiba. Orang-orang kafir tersebut sebelumnya, tidak pernah mendengarkan secara langsung Kalamullah, karena program yang mereka lancarkan secara kontinyu adalah melakukan apa yang telah saling diingatkan oleh sebagian mereka terhadap sebagian yang lain yang bunyinya sebagaimana dalam firmanNya: "…janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan al-Qur'an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya supaya kamu dapat mengalahkan (mereka)". (Q.S.41/Fushshilat: 26). Maka, manakala lantunan surat tersebut menyergap mereka secara tiba-tiba dan Kalam Ilahi yang demikian indah menawan – yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata akan keagungan dan keindah-menawanannya- mengetuk telinga mereka; mereka seakan mengesampingkan semua apa yang tengah dilakukan dan masing-masing terkonsentrasi untuk mendengarkannya sehingga tidak ada yang terlintas di hatinya selain lantunan itu. Lalu sampailah beliau pada akhir surat ini; ketukan yang membawa hati seakan terbang melayang, beliau membaca firmanNya :"…maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah Dia". (Q.S.53/an-Najm: 62), kemudian beliau sujud. Melihat pemandangan itu, tak seorangpun dari mereka yang dapat menahan dirinya untuk tidak sujud, sehingga merekapun sujud bersama beliau. Sebenarnya, keindah-menawanan al-Haq telah meluluhlantakkan kebatuan yang meliputi jiwa-jiwa kaum yang takabbur dan suka mengejek; mereka semua tak sanggup menahannya bahkan jatuh bersujud kepada Allah.
Mereka linglung dan tak tahu harus berbuat apa, manakala keagungan Kalamullah telah mempelintir kendali yang selama ini mereka pegang sehingga membuat mereka melakukan sesuatu yang selama ini justru dengan susah payah berusaha mereka hapus dan lenyapkan. Kejadian tersebut mendapatkan kecaman dari teman-teman mereka yang tidak sempat hadir ketika itu. Dengan begitu, mereka merasa inilah pula momen bagi mereka untuk mendustakan Rasulullah dan mencemarkan nama baik beliau dengan membalikkan fakta yang sebenarnya; yaitu, bahwa yang terjadi sebenarnya, justru beliau-lah yang berbuat demikian terhadap berhala mereka. Mereka mengatakan bahwa kisah itu hanyalah isu bohong dan hal ini mereka gembar-gemborkan agar dapat menjadi alasan atas sujud mereka bersama Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam ketika itu. Tentunya, respons semacam ini tidak begitu mengherankan sekali sebab sumbernya adalah dari orang yang selama ini pekerjaannya suka mengarang-ngarang dusta serta menghembuskan isu.
Berita tersebut (tentang sujudnya kaum Quraisy-red) sampai ke telinga kaum muslimin yang berhijrah di Habasyah akan tetapi versi beritanya sangat kontras dengan realitas yang sebenarnya; yang sampai kepada mereka bahwa kaum Quraisy telah masuk Islam. Oleh karena itu, merekapun kembali ke Mekkah pada bulan Syawwal di tahun yang sama, namun ketika mereka berada di tempat yang tidak berapa jauh dari Mekkah, yaitu sesaat di waktu siang lalu mereka akhirnya mengetahui duduk persoalannya; sebagian mereka ada yang kembali lagi ke Habasyah sedangkan sebagian yang lain ada yang memasuki Mekkah secara diam-diam atau berlindung di bawah suaka seseorang dari suku Quraisy.
Pada bulan Ramadhan di tahun yang sama, Rasulullah pergi ke mesjid al-Haram. Ketika itu, sekumpulan besar kaum Quraisy tengah berada disana; terdapat para pemuka dan tokoh-tokoh mereka. Beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam kemudian berdiri di tengah mereka sembari melantunkan surat an-Najm tanpa sepengetahuan mereka alias secara tiba-tiba. Orang-orang kafir tersebut sebelumnya, tidak pernah mendengarkan secara langsung Kalamullah, karena program yang mereka lancarkan secara kontinyu adalah melakukan apa yang telah saling diingatkan oleh sebagian mereka terhadap sebagian yang lain yang bunyinya sebagaimana dalam firmanNya: "…janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan al-Qur'an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya supaya kamu dapat mengalahkan (mereka)". (Q.S.41/Fushshilat: 26). Maka, manakala lantunan surat tersebut menyergap mereka secara tiba-tiba dan Kalam Ilahi yang demikian indah menawan – yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata akan keagungan dan keindah-menawanannya- mengetuk telinga mereka; mereka seakan mengesampingkan semua apa yang tengah dilakukan dan masing-masing terkonsentrasi untuk mendengarkannya sehingga tidak ada yang terlintas di hatinya selain lantunan itu. Lalu sampailah beliau pada akhir surat ini; ketukan yang membawa hati seakan terbang melayang, beliau membaca firmanNya :"…maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah Dia". (Q.S.53/an-Najm: 62), kemudian beliau sujud. Melihat pemandangan itu, tak seorangpun dari mereka yang dapat menahan dirinya untuk tidak sujud, sehingga merekapun sujud bersama beliau. Sebenarnya, keindah-menawanan al-Haq telah meluluhlantakkan kebatuan yang meliputi jiwa-jiwa kaum yang takabbur dan suka mengejek; mereka semua tak sanggup menahannya bahkan jatuh bersujud kepada Allah.
Mereka linglung dan tak tahu harus berbuat apa, manakala keagungan Kalamullah telah mempelintir kendali yang selama ini mereka pegang sehingga membuat mereka melakukan sesuatu yang selama ini justru dengan susah payah berusaha mereka hapus dan lenyapkan. Kejadian tersebut mendapatkan kecaman dari teman-teman mereka yang tidak sempat hadir ketika itu. Dengan begitu, mereka merasa inilah pula momen bagi mereka untuk mendustakan Rasulullah dan mencemarkan nama baik beliau dengan membalikkan fakta yang sebenarnya; yaitu, bahwa yang terjadi sebenarnya, justru beliau-lah yang berbuat demikian terhadap berhala mereka. Mereka mengatakan bahwa kisah itu hanyalah isu bohong dan hal ini mereka gembar-gemborkan agar dapat menjadi alasan atas sujud mereka bersama Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam ketika itu. Tentunya, respons semacam ini tidak begitu mengherankan sekali sebab sumbernya adalah dari orang yang selama ini pekerjaannya suka mengarang-ngarang dusta serta menghembuskan isu.
Berita tersebut (tentang sujudnya kaum Quraisy-red) sampai ke telinga kaum muslimin yang berhijrah di Habasyah akan tetapi versi beritanya sangat kontras dengan realitas yang sebenarnya; yang sampai kepada mereka bahwa kaum Quraisy telah masuk Islam. Oleh karena itu, merekapun kembali ke Mekkah pada bulan Syawwal di tahun yang sama, namun ketika mereka berada di tempat yang tidak berapa jauh dari Mekkah, yaitu sesaat di waktu siang lalu mereka akhirnya mengetahui duduk persoalannya; sebagian mereka ada yang kembali lagi ke Habasyah sedangkan sebagian yang lain ada yang memasuki Mekkah secara diam-diam atau berlindung di bawah suaka seseorang dari suku Quraisy.
Setelah peristiwa tersebut, kaum Quraisy meningkatkan frekuensi penindasan dan penyiksaan terhadap mereka dan kaum muslimin secara umum, tak luput suku mereka sendiri memperlakukan hal yang hampir sama. Meskipun demikian, kaum Quraisy merasa gerah dengan berita yang mereka dapatkan bahwa an-Najasyi adalah seorang raja yang memperlakukan tamunya dengan baik. Disamping itu, Rasulullah juga telah memberikan isyarat bolehnya para shahabat berhijrah kembali ke negeri Habasyah. Perjalanan hijrah kali ini dirasakan amat sulit dari perjalanan sebelumnya mengingat kaum Quraisy sudah mengantisipasinya dan bertekad untuk menggagalkannya. Akan tetapi, Allah memudahkan perjalanan kaum muslimin sehingga mereka bergerak lebih cepat dan menuju kepada suaka an-Najasyi, raja Habasyah sebelum kaum Quraisy menciumnya.
Hijrah kali ini membawa rombongan yang terdiri dari 83 orang laki-laki - dalam hal ini, riwayat yang menyatakan keikutsertaan 'Ammar bin Yasir dalam rombongan ini masih diragukan kevalidannya - dan 18 atau 19 orang wanita.
Trik kaum Quraisy untuk memperdaya kaum muslimin yang berhijrah ke Habasyah
Kaum musyrikin tidak pernah merasa senang bila kaum muhajirin tersebut mendapatkan keamanan bagi diri dan dien mereka. Untuk itulah, mereka mengutus dua orang pilihan yang dikenal sebagai orang telah yang teruji lagi cerdik, yaitu 'Amru bin al-'Ash dan 'Abdulullah bin Abi Rabi'ah –sebelum keduanya masuk Islam-. Keduanya membawa titipan hadiah yang menggiurkan dari pemuka Quraisy untuk an-Najasyi dan para uskupnya. Kedua orang ini mempersembahkan hadiah kepada para uskup terlebih dahulu sambil membekali mereka beberapa alasan yang dengannya kaum muslimin dapat diusir dari negerinya. Setelah para uskup menyetujui untuk mengangkat permintaan keduanya tersebut kepada an-Najasyi agar mengusir kaum muslimin, keduanya langsung berhadapan dengan sang raja, menyerahkan beberapa buah hadiah kepadanya lalu berbicara dengannya. Keduanya berkata: "wahai tuan raja! Sesungguhnya beberapa orang yang masih bau kencur memasuki negeri anda sebagai orang asing; mereka meninggalkan agama kaum mereka namun tidak juga menganut agamamu bahkan mereka membawa agama baru yang tidak kami ketahui, demikian juga dengan tuan. Kami disini, adalah sebagai utusan kepadamu. Diantara orang yang mengutus kami tersebut ada yang merupakan pemuka kaum mereka dari nenek moyang, paman-paman serta suku mereka agar tuan mengembalikan para pendatang ini kepada mereka. Tentunya, mereka lebih banyak memantau tindak tanduk para pendatang tersebut dan polah mereka mencela dan mencaci-maki mereka".
Para uskup serta merta menimpali: "benar apa yang dikatakan oleh keduanya wahai tuan raja! Serahkanlah mereka kepada keduanya agar keduanya membawa mereka pulang ke kaum dan negeri mereka".
Akan tetapi an-Najasyi berpandangan bahwa masalah ini perlu ada kejelasan dan mendengarkan dari kedua belah pihak sekaligus. Lalu dia mengutus orang untuk menemui kaum muslimin dan mengundang mereka untuk hadir. Merekapun menghadirinya dan telah bersepakat akan mengatakan sejujur-jujurnya apa yang telah terjadi. An-Najasyi berkata kepada mereka: "apa gerangan agama yang bisa memisahkan kalian dari kaum kalian dan tidak membuat kalian masuk ke dalam agamaku atau agama-agama yang lain?".
Ja'far bin Abi Thalib sebagai juru bicara kaum muslimin bertutur: "wahai tuan raja! Kami dahulunya adalah ahli Jahiliyyah; menyembah berhala, memakan bangkai binatang, melakukan perbuatan keji, memutus tali rahim, suka mengusik tetangga. Kaum yang kuat diantara kami menindas kaum yang lemah. Demikianlah kondisi kami ketika itu, hingga Allah mengutus kepada kami seorang Rasul dari bangsa kami sendiri yang kami tahu persis nasab, kejujuran, amanat serta kesucian dirinya. Lalu dia mengajak kami kepada Allah guna mentauhidkan dan menyembahNya serta agar kami tidak lagi menyembah batu dan berhala yang dulu disembah oleh nenek moyang kami. Beliau memerintahkan kami agar berlaku jujur dalam bicara, melaksanakan amanat, menyambung tali rahim, berbuat baik kepada tetangga dan menghindari pertumpahan darah. Dia melarang kami melakukan perbuatan yang keji, berbicara ngibul, memakan harta anak yatim serta menuduh wanita yang suci melakukan zina tanpa bukti. Beliau memerintahkan kami agar menyembah Allah semata, tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun, memerintahkan kami agar melakukan shalat, membayar zakat, berpuasa, (….selanjutnya Ja'far menyebutkan hal-hal lainnya) … lalu kami membenarkan hal itu semua dan beriman kepadanya. Kami ikuti ajaran yang dibawanya dari Allah; kami sembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, apa yang diharamkannya atas kami adalah haram menurut kami dan dan apa yang dihalalkannya adalah halal menurut kami. Lantaran itu, kaum kami malah memusuhi kami, menyiksa, merayu agar keluar dari agama yang memerintahkan kami beribadah kepada Allah, dan mengajak kami kembali menyembah berhala-berhala, menghalalkan kami melakukan perbuatan-perbuatan keji yang dahulu pernah kami lakukan. Nah, manakala mereka memaksa kami, menganiaya, mempersempit ruang gerak serta menghalangi agar kami tidak dapat melakukan ritual agama, kami akhirnya menempuh jalan melarikan diri menuju negeri tuan. Kami lebih memilih tuan daripada selain tuan dan lebih suka berada dibawah suaka tuan. Ini semua dengan harapan agar kami tidak terzhalimi disisimu, wahai tuan raja!".
An-Najasyi bertanya: "apakah ada sesuatu yang dibawanya dari Allah bersama kalian?". Ja'far menjawab: "ya! Ada". An-Najasyi bertanya lagi: "tolong bacakan kepadaku!". Lalu dia membacakan permulaan surat Maryam, firmanNya: "Kâf-hâ-yâ-'aîn-shâd". Manakala mendengar lantunan ayat tersebut, demi Allah! (ucapan ini sebenarnya berasal dari penutur kisah ini, yaitu Ummu Salamah yang menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri peristiwa ini-red) sang rajapun menangis hingga air matanya membasahi jenggotnya. Demikian pula dengan para uskupnya hingga air mata mereka membasahi mushhaf-mushhaf (lembaran-lembaran-red) yang berada di tangan mereka. Kemudian an-Najasyi berkata kepada mereka: "sesungguhnya ini dan apa yang dibawa oleh 'Isa adalah bersumber dari satu lentera". Lalu kepada kedua utusan Quraisy dia berkata: "pergilah kalian berdua, demi Allah, sekali-kali tidak akan aku serahkan mereka kepada kalian dan tidak akan hal itu terjadi". Keduanya pun keluar namun 'Amru bin al-'Ash sempat berkata kepada 'Abdullah bin Rabi'ah: "demi Allah! sungguh akan aku datangi lagi dia besok pagi untuk membicarakan perihal mereka dan akan aku habisi mereka (argumentasi kaum muslimin-red) sebagaimana aku menghabisi ladang mereka". 'Abdullah bin Rabi'ah berkata: "jangan kamu lakukan itu! Sesungguhnya mereka itu masih memiliki hubungan tali rahim dengan kita sekalipun mereka menentang kita". Akan tetapi 'Amru tetap ngotot dengan tekadnya.
Benar saja, keesokan harinya dia mendatangi an-Najasyi dan berkata kepadanya: "wahai tuan raja! Sesungguhnya mereka itu mengatakan suatu perkataan yang sangat serius terhadap 'Isa bin Maryam". An-Najasyi pun mengirim utusan kepada kaum muslimin untuk mempertanyakan perihal perkataan terhadap 'Isa al-Masih tersebut. Mereka sempat kaget menyikapi hal itu, namun akhirnya tetap bersepakat untuk berkata dengan sejujur-jujurnya apapun yang terjadi. Ketika mereka datang di hadapan sang raja dan dia bertanya kepada mereka tentang hal itu, Ja'far berkata kepadanya: "kami mengatakan tentangnya sebagaimana yang dibawa oleh Nabi kami Shallallâhu 'alaihi wasallam : 'dia adalah hamba Allah, Rasul-Nya, ruh-Nya dan kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, si perawan yang ahli ibadah".
An-Najasyi kemudian memungut sebatang ranting pohon dari tanah seraya berujar: "demi Allah! apa yang kamu ungkapkan itu tidak melangkahi 'Isa bin Maryam meski seukuran ranting ini". Mendengar itu, para uskup mendengus, dan dengusan itu angsung ditimpalinya: 'demi Allah! sekalipun kalian mendengus". Dia kemudian berkata kepada kaum muslimin: "pergilah! Kalian akan aman di negeriku. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan celaka. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan celaka. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan celaka. Aku tidak akan menyakiti siapapun diantara kalian, meski aku memiliki gunung emas" (perkataan itu diungkapkan dalam bahasa Habasyah).
Kemudian an-Najasyi berkata kepada para pejabat istana: "Kembalikan hadiah-hadiah tersebut kepada keduanya, karena aku tidak memerlukannya. Demi Allah! Dia Ta'ala tidak pernah mengambil sogokan dariku tatkala kerajaan ini Dia kembalikan kepadaku, sehingga dengan itu, aku patut mengambilnya pula, dan Dia juga tidak membuat manusia patuh kepadaku sehingga aku harus patuh pula kepada mereka karena itu". Ummu Salamah yang meriwayatkan kisah ini berkata: "kemudian keduanya keluar dari hadapannya dengan raut muka yang kusam karena alasan yang dikemukakan mental sama sekali. Setelah itu, kami menetap disisinya dengan penuh kenyamanan bersama tetangga yang paling baik".
Riwayat ini adalah versi Ibnu Ishaq, sedangkan riwayat lainnya menyebutkan bahwa perutusan 'Amru bin al-'Ash kepada an-Najasyi terjadi setelah perang Badr. Sebagian ahli sejarah menyinkronkan kedua versi riwayat tersebut dengan menyatakan bahwa perutusan itu terjadi dua kali akan tetapi tanya jawab-tanya jawab yang disebutkan terjadi antara an-Najasyi dan Ja'far dalam perutusan yang kedua kalinya itu adalah hampir sama dengan apa yang diriwayatkan dalam versi Ibnu Ishaq. Selain itu, materi yang termuat dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan terjadinya proses murâfa'at (pembelaan, pendengaran di muka hakim dalam istilah hukum-red) pertama yang diadukan kepada an-Najasyi.
Kaum musyrikin tidak pernah merasa senang bila kaum muhajirin tersebut mendapatkan keamanan bagi diri dan dien mereka. Untuk itulah, mereka mengutus dua orang pilihan yang dikenal sebagai orang telah yang teruji lagi cerdik, yaitu 'Amru bin al-'Ash dan 'Abdulullah bin Abi Rabi'ah –sebelum keduanya masuk Islam-. Keduanya membawa titipan hadiah yang menggiurkan dari pemuka Quraisy untuk an-Najasyi dan para uskupnya. Kedua orang ini mempersembahkan hadiah kepada para uskup terlebih dahulu sambil membekali mereka beberapa alasan yang dengannya kaum muslimin dapat diusir dari negerinya. Setelah para uskup menyetujui untuk mengangkat permintaan keduanya tersebut kepada an-Najasyi agar mengusir kaum muslimin, keduanya langsung berhadapan dengan sang raja, menyerahkan beberapa buah hadiah kepadanya lalu berbicara dengannya. Keduanya berkata: "wahai tuan raja! Sesungguhnya beberapa orang yang masih bau kencur memasuki negeri anda sebagai orang asing; mereka meninggalkan agama kaum mereka namun tidak juga menganut agamamu bahkan mereka membawa agama baru yang tidak kami ketahui, demikian juga dengan tuan. Kami disini, adalah sebagai utusan kepadamu. Diantara orang yang mengutus kami tersebut ada yang merupakan pemuka kaum mereka dari nenek moyang, paman-paman serta suku mereka agar tuan mengembalikan para pendatang ini kepada mereka. Tentunya, mereka lebih banyak memantau tindak tanduk para pendatang tersebut dan polah mereka mencela dan mencaci-maki mereka".
Para uskup serta merta menimpali: "benar apa yang dikatakan oleh keduanya wahai tuan raja! Serahkanlah mereka kepada keduanya agar keduanya membawa mereka pulang ke kaum dan negeri mereka".
Akan tetapi an-Najasyi berpandangan bahwa masalah ini perlu ada kejelasan dan mendengarkan dari kedua belah pihak sekaligus. Lalu dia mengutus orang untuk menemui kaum muslimin dan mengundang mereka untuk hadir. Merekapun menghadirinya dan telah bersepakat akan mengatakan sejujur-jujurnya apa yang telah terjadi. An-Najasyi berkata kepada mereka: "apa gerangan agama yang bisa memisahkan kalian dari kaum kalian dan tidak membuat kalian masuk ke dalam agamaku atau agama-agama yang lain?".
Ja'far bin Abi Thalib sebagai juru bicara kaum muslimin bertutur: "wahai tuan raja! Kami dahulunya adalah ahli Jahiliyyah; menyembah berhala, memakan bangkai binatang, melakukan perbuatan keji, memutus tali rahim, suka mengusik tetangga. Kaum yang kuat diantara kami menindas kaum yang lemah. Demikianlah kondisi kami ketika itu, hingga Allah mengutus kepada kami seorang Rasul dari bangsa kami sendiri yang kami tahu persis nasab, kejujuran, amanat serta kesucian dirinya. Lalu dia mengajak kami kepada Allah guna mentauhidkan dan menyembahNya serta agar kami tidak lagi menyembah batu dan berhala yang dulu disembah oleh nenek moyang kami. Beliau memerintahkan kami agar berlaku jujur dalam bicara, melaksanakan amanat, menyambung tali rahim, berbuat baik kepada tetangga dan menghindari pertumpahan darah. Dia melarang kami melakukan perbuatan yang keji, berbicara ngibul, memakan harta anak yatim serta menuduh wanita yang suci melakukan zina tanpa bukti. Beliau memerintahkan kami agar menyembah Allah semata, tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun, memerintahkan kami agar melakukan shalat, membayar zakat, berpuasa, (….selanjutnya Ja'far menyebutkan hal-hal lainnya) … lalu kami membenarkan hal itu semua dan beriman kepadanya. Kami ikuti ajaran yang dibawanya dari Allah; kami sembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, apa yang diharamkannya atas kami adalah haram menurut kami dan dan apa yang dihalalkannya adalah halal menurut kami. Lantaran itu, kaum kami malah memusuhi kami, menyiksa, merayu agar keluar dari agama yang memerintahkan kami beribadah kepada Allah, dan mengajak kami kembali menyembah berhala-berhala, menghalalkan kami melakukan perbuatan-perbuatan keji yang dahulu pernah kami lakukan. Nah, manakala mereka memaksa kami, menganiaya, mempersempit ruang gerak serta menghalangi agar kami tidak dapat melakukan ritual agama, kami akhirnya menempuh jalan melarikan diri menuju negeri tuan. Kami lebih memilih tuan daripada selain tuan dan lebih suka berada dibawah suaka tuan. Ini semua dengan harapan agar kami tidak terzhalimi disisimu, wahai tuan raja!".
An-Najasyi bertanya: "apakah ada sesuatu yang dibawanya dari Allah bersama kalian?". Ja'far menjawab: "ya! Ada". An-Najasyi bertanya lagi: "tolong bacakan kepadaku!". Lalu dia membacakan permulaan surat Maryam, firmanNya: "Kâf-hâ-yâ-'aîn-shâd". Manakala mendengar lantunan ayat tersebut, demi Allah! (ucapan ini sebenarnya berasal dari penutur kisah ini, yaitu Ummu Salamah yang menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri peristiwa ini-red) sang rajapun menangis hingga air matanya membasahi jenggotnya. Demikian pula dengan para uskupnya hingga air mata mereka membasahi mushhaf-mushhaf (lembaran-lembaran-red) yang berada di tangan mereka. Kemudian an-Najasyi berkata kepada mereka: "sesungguhnya ini dan apa yang dibawa oleh 'Isa adalah bersumber dari satu lentera". Lalu kepada kedua utusan Quraisy dia berkata: "pergilah kalian berdua, demi Allah, sekali-kali tidak akan aku serahkan mereka kepada kalian dan tidak akan hal itu terjadi". Keduanya pun keluar namun 'Amru bin al-'Ash sempat berkata kepada 'Abdullah bin Rabi'ah: "demi Allah! sungguh akan aku datangi lagi dia besok pagi untuk membicarakan perihal mereka dan akan aku habisi mereka (argumentasi kaum muslimin-red) sebagaimana aku menghabisi ladang mereka". 'Abdullah bin Rabi'ah berkata: "jangan kamu lakukan itu! Sesungguhnya mereka itu masih memiliki hubungan tali rahim dengan kita sekalipun mereka menentang kita". Akan tetapi 'Amru tetap ngotot dengan tekadnya.
Benar saja, keesokan harinya dia mendatangi an-Najasyi dan berkata kepadanya: "wahai tuan raja! Sesungguhnya mereka itu mengatakan suatu perkataan yang sangat serius terhadap 'Isa bin Maryam". An-Najasyi pun mengirim utusan kepada kaum muslimin untuk mempertanyakan perihal perkataan terhadap 'Isa al-Masih tersebut. Mereka sempat kaget menyikapi hal itu, namun akhirnya tetap bersepakat untuk berkata dengan sejujur-jujurnya apapun yang terjadi. Ketika mereka datang di hadapan sang raja dan dia bertanya kepada mereka tentang hal itu, Ja'far berkata kepadanya: "kami mengatakan tentangnya sebagaimana yang dibawa oleh Nabi kami Shallallâhu 'alaihi wasallam : 'dia adalah hamba Allah, Rasul-Nya, ruh-Nya dan kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, si perawan yang ahli ibadah".
An-Najasyi kemudian memungut sebatang ranting pohon dari tanah seraya berujar: "demi Allah! apa yang kamu ungkapkan itu tidak melangkahi 'Isa bin Maryam meski seukuran ranting ini". Mendengar itu, para uskup mendengus, dan dengusan itu angsung ditimpalinya: 'demi Allah! sekalipun kalian mendengus". Dia kemudian berkata kepada kaum muslimin: "pergilah! Kalian akan aman di negeriku. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan celaka. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan celaka. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan celaka. Aku tidak akan menyakiti siapapun diantara kalian, meski aku memiliki gunung emas" (perkataan itu diungkapkan dalam bahasa Habasyah).
Kemudian an-Najasyi berkata kepada para pejabat istana: "Kembalikan hadiah-hadiah tersebut kepada keduanya, karena aku tidak memerlukannya. Demi Allah! Dia Ta'ala tidak pernah mengambil sogokan dariku tatkala kerajaan ini Dia kembalikan kepadaku, sehingga dengan itu, aku patut mengambilnya pula, dan Dia juga tidak membuat manusia patuh kepadaku sehingga aku harus patuh pula kepada mereka karena itu". Ummu Salamah yang meriwayatkan kisah ini berkata: "kemudian keduanya keluar dari hadapannya dengan raut muka yang kusam karena alasan yang dikemukakan mental sama sekali. Setelah itu, kami menetap disisinya dengan penuh kenyamanan bersama tetangga yang paling baik".
Riwayat ini adalah versi Ibnu Ishaq, sedangkan riwayat lainnya menyebutkan bahwa perutusan 'Amru bin al-'Ash kepada an-Najasyi terjadi setelah perang Badr. Sebagian ahli sejarah menyinkronkan kedua versi riwayat tersebut dengan menyatakan bahwa perutusan itu terjadi dua kali akan tetapi tanya jawab-tanya jawab yang disebutkan terjadi antara an-Najasyi dan Ja'far dalam perutusan yang kedua kalinya itu adalah hampir sama dengan apa yang diriwayatkan dalam versi Ibnu Ishaq. Selain itu, materi yang termuat dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan terjadinya proses murâfa'at (pembelaan, pendengaran di muka hakim dalam istilah hukum-red) pertama yang diadukan kepada an-Najasyi.
4. Meningkatnya frekuensi siksaan dan upaya menghabisi
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam
Manakala kaum musyrikun gagal dalam tipu muslihat mereka untuk memulangkan kaum Muhajirin; mereka semakin bertambah geram. Kedongkolan mereka bervariasi antara satu dan yang lainnya. Semakin lama semakin memuncak dan mereka timpakan juga kepada kaum muslimin yang lainnya, bahkan mereka sudah menjangkaukan tangan mereka kepada Rasulullah untuk menyakiti beliau. Tampak dari gerak-gerik mereka hal yang menunjukkan adanya keinginan untuk menghabisi Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam sehingga mereka dapat menumpas habis fitnah hingga ke akar-akarnya yang selama ini menggetarkan tempat tidur mereka, sebagaimana yang mereka kira.
Sedangkan kaum Muslimin sendiri, sebagian mereka masih tinggal di Mekkah meskipun dalam jumlah yang sedikit. Mereka dapat melakukan hal itu baik lantaran ada diantara mereka yang memang termasuk orang-orang terpandang dan memiliki gigi atau mendapatkan suaka dari seseorang. Meskipun demikian, mereka tetap menyembunyikan keislaman mereka dan menjauh dari pandangan para Thughat sedapat mungkin. Akan tetapi, sekalipun kehati-hatian dan kewaspadaan itu dilakukan, mereka sama sekali tidak dapat lolos begitu saja dari gangguan, penghinaan serta penganiayaan.
Dalam pada itu, Rasulullah tetap melakukan shalat dan beribadah kepada Allah didepan mata kepala para Thughat tersebut; beliau leluasa berdoa baik secara pelan atau terang-terangan. Tidak ada seorangpun yang bisa menghalangi dan memalingkannya dari hal itu sebab semua itu dilakukan dalam rangka menyampaikan risalah Allah semenjak beliau diperintahkan olehNya, dalam firmanNya: "Maka sampaikanlah olehmu segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik". (QS. 15/Al-Hijr: 94).
Dengan demikian, sebenarnya sewaktu-waktu, bisa saja kaum Musyrikun menyakiti beliau bila mereka mau sebab secara zhahirnya tidak ada yang menghalangi antara mereka dan diri beliau selain rasa malu dan segan serta adanya jaminan Abu Thalib dan rasa hormat terhadapnya. Sebab lainhnya, karena kekhawatiran mereka terhadap akibat yang fatal dari tindakan tersebut sehingga akan membuat suku Bani Hasyim berhimpun melawan mereka. Namun, lambat laun perasaan tersebut pupus dan tidak berpengaruh banyak terhadap physikologis mereka; karenanya mereka mulai menganggap remeh akan hal itu semenjak mereka merasa eksistensi berhala dan kepimpinan sprituil yang selama ini mereka pegang sudah semakin memudar, kalah saing oleh dakwah Muhammad Shallallâhu 'alaihi wasallam.
Diantara peristiwa-peristiwa yang dikisahkan oleh kitab-kitab as-Sunnah dan Sirah kepada kita serta didukung oleh bukti-bukti otentik bahwa memang terjadi pada masa tersebut adalah kisah 'Utaibah bin Abi Lahab yang mendatangi Rasululullah pada suatu hari sembari berkata: "aku mengingkari firman Allah: [wan najmi idzâ hawâ: Demi bintang ketika terbenam, (QS. 53:1)] dan yang (disebutkan sebagai) [danâ fa tadallâ : Kemudian dia (Jibril) mendekat, lalu bertambah dekat lagi, (QS. 53:8)]". Selepas itu, dia menyakiti beliau, merobek bajunya serta meludah ke arah wajahnya namun untung saja tidak mengenainya. Ketika itu Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam mendoakan (kebinasaan) atasnya: "Ya Allah, kirimkanlah kepadanya seekor anjing dari anjing-anjing (ciptaanMu) untuk (menerkam)-nya". Doa beliau ini telah diijabah oleh Allah, yaitu manakala suatu hari 'Utaibah keluar bersama beberapa orang Quraisy dan singgah di suatu tempat di Syam yang bernama az-Zarqâ'. Pada malam itu, ada banyak singa yang berkeliaran disitu. Melihat hal itu, 'Utaibah serta merta berseloroh: "wahai saudaraku, sungguh celaka! Inilah, demi Allah, pemangsaku sebagaimana yang didoakan oleh Muhammad atasku. Dia membunuhku padahal sedang berada di Mekkah sedangkan aku di Syam". Lalu singa itu menerkamnya di tengah kerumunan kaum tersebut, mencengkram kepalanya dan membunuhnya.
Kisah lainnya; disebutkan bahwa 'Uqbah bin Abi Mu'ith menginjak pundak beliau yang mulia saat beliau sedang sujud sehingga hampir-hampir kedua biji matanya keluar.
Diantara bukti lain yang menunjukkan bahwa para Thughat tersebut ingin membunuh beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam adalah kisah yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Abdullah bin 'Amru bin al-'Âsh, dia berkata:
"Aku datang saat mereka berkumpul-kumpul di hijr (yakni, Hijr Isma'il di Ka'bah-red), mereka menyebut-nyebut perihal Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Mereka berkata: 'Kita tidak pernah sampai menahan kesabaran seperti halnya kita sabar terhadap orang ini (Rasulullah-red), padahal, kita telah menahan sabar terhadapnya dalam masalah yang serius'. Manakala mereka dalam kondisi demikian, muncullah Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam menuju ke sana dengan berjalan, lalu beliau menyalami ar-Rukn (al-Yamaniy, salah satu sudut Ka'bah-red), kemudian beliau melewati mereka dan mengelilingi Baitullah. Mereka menghina beliau dengan beberapa ucapan, maka aku mengetahui hal itu dari raut wajah Rasulullah. Ketika beliau melewati mereka untuk kedua kalinya, mereka tetap melakukan hal yang sama terhadapnya dan aku mengetahuinya juga dari raut wajah beliau, kemudian beliau melewati mereka untuk ketiga kalinya dan mereka masih melakukan hal yang sama terhadapnya, lalu beliau berhenti dan berkata kepada mereka: 'maukah kalian mendengarkan (ini) wahai kaum Quraisy! Demi Yang jiwaku ada di tanganNya, sungguh aku datang membawakan sembelihan untuk kalian". Ucapan beliau ini berhasil mengalihkan konsentrasi mereka sehingga tidak seorangpun dari mereka melainkan seakan-akan ada burung yang bertengger diatas kepalanya. Bahkan orang yang paling kasar diantara mereka, memberikan ucapan selamat kepada beliau dengan sebaik-baik ucapan yang pernah beliau dapatkan. Orang itu berkata: 'pergilah wahai Abu al-Qâsim ! Demi Allah! engkau bukanlah orang yang bodoh'.
Pada keesokan harinya, mereka berkumpul kembali dan memperbincangkan perihal beliau, ketika beliau muncul, mereka secara serentak merubung dan mengitari beliau. Aku melihat salah seorang diantara mereka memegang jubah beliau, lantas Abu Bakar dengan segera membela, sembari menangis, dia berkata: 'apakah kalian akan membunuh seseorang lantaran dia berucap: 'Rabb-ku adalah Allah?'. Kemudian mereka berlalu. Ibnu 'Amru berkata: 'sungguh pemandangan itu merupakan perlakuan paling kasar yang pernah kulihat dilakukan oleh kaum Quraisy terhadap beliau' ". Demikian ringkasan kisahnya.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari 'Urwah bin az-Zubair, dia berkata: "aku bertanya kepada Ibnu 'Amru bin al-'Âsh: 'beritahukanlah kepadaku tentang perlakuan yang paling keras yang dilakukan oleh kaum Musyrikun terhadap Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam !'. Dia menjawab: ' saat Nabi sedang shalat di hijr Ka'bah, datanglah 'Uqbah bin Abi Mu'ith, lalu dia melilitkan pakaiannya ke leher beliau dan menariknya dengan kencang. Kemudian, Abu Bakar datang dan mencangkram pundaknya lalu mengenyahkannya dari sisi Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam sembari berkata: 'apakah kalian akan membunuh seseorang lantaran dia mengatakan: 'Rabb-ku adalah Allah?' ".
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Asma' disebutkan: "lantas ada orang yang berteriak datang kepada Abu Bakar seraya berkata: 'temuilah shahabatmu! (yakni, Rasulullah-red)'. Lalu dia keluar dari sisi kami dengan membawa empat buah jalinan rambut wanita. Saat keluar, dia berkata: 'apakah kalian akan membunuh seseorang lantaran dia mengatakan: 'Rabb-ku adalah Allah?, lalu mereka membiarkannya dan mendatangi Abu Bakar. Lalu dia pulang, dan saat itu kami tidak berani menyentuh jalinan rambut tersebut hingga dia mengembalikannya kepada kami".
Masuk Islamnya Hamzah bin Abdul Muththalib radhiallaahu 'anhu
Di tengah suhu yang diliputi awan kezhaliman dan penindasan, tiba-tiba muncul
seberkas cahaya yang menyinari jalan, yaitu masuk islamnya Hamzah bin Abdul
Muththalib radhiallaahu 'anhu . Dia masuk Islam pada penghujung tahun ke-6 dari
kenabian, lebih tepatnya pada bulan Dzulhijjah.
Mengenai sebab keislamannya adalah bahwa suatu hari, Abu Jahal melewati Rasulullah di bukit Shafa, lalu dia menyakiti dan menganiaya beliau. Rasulullah diam saja, tidak berbicara sedikitpun kepadanya. Kemudian dia memukuli tubuh beliau dengan batu dibagian kepala sehingga memar dan darah mengalir. Selepas itu, dia pulang menuju tempat pertemuan kaum Quraisy di sisi Ka'bah dan berbincang dengan mereka. Kala itu, budak wanita Abdullah bin Jud'an berada di kediamannya diatas bukit Shafa dan menyaksikan pemandangan yang belum lama terjadi. Kebetulan, Hamzah datang dari berburu dengan menenteng busur panah. Maka serta merta dia memberitahukan kepadanya perihal perlakuan Abu Jahal tersebut. Menyikapi hal itu, sebagai seorang pemuda yang gagah lagi punya harga diri yang tinggi di kalangan suku Quraisy, Hamzah marah berat dan langsung bergegas pergi dan tidak peduli dengan orang yang menegurnya. Dia berkonsentrasi mempersiapkan segalanya bila berjumpa dengan Abu Jahal dan akan memberikan pelajaran yang paling pahit kepadanya. Maka, manakala dia masuk Masjid (al-Haram-red), dia langsung tegak persis di arah kepala Abu Jahal sembari berkata: "hai si hina dina! Engkau berani mencaci maki keponakanku padahal aku sudah memeluk agamanya?". Kemudian dia memukulinya dengan gagang busur panah dan membuatnya terluka dan babak belur. Melihat hal itu, sebagian orang-orang dari Bani Makhzum –yakni, dari suku Abu Jahal- terpancing emosinya, demikian pula dengan orang-orang dari Bani Hasyim –dari suku Hamzah-. Abu Jahal melerai dan berkata: "Biarkan Abu 'Imarah (kun-yah/julukan Hamzah-red)! Sebab aku memang telah mencaci maki keponakannya dengan cacian yang amat jelek".
Keislaman Hamzah pada mulanya adalah sebagai pelampiasan rasa percaya diri seseorang yang tidak sudi dihina oleh tuannya, namun kemudian Allah melapangkan dadanya. Dia kemudian menjadi orang yang berpegang teguh dengan al-'Urwatul Wutsqa dan menjadi kebanggaan kaum muslimin.
Masuk Islamnya 'Umar bin al-Khaththab radhiallaahu 'anhu
Manakala kaum musyrikun gagal dalam tipu muslihat mereka untuk memulangkan kaum Muhajirin; mereka semakin bertambah geram. Kedongkolan mereka bervariasi antara satu dan yang lainnya. Semakin lama semakin memuncak dan mereka timpakan juga kepada kaum muslimin yang lainnya, bahkan mereka sudah menjangkaukan tangan mereka kepada Rasulullah untuk menyakiti beliau. Tampak dari gerak-gerik mereka hal yang menunjukkan adanya keinginan untuk menghabisi Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam sehingga mereka dapat menumpas habis fitnah hingga ke akar-akarnya yang selama ini menggetarkan tempat tidur mereka, sebagaimana yang mereka kira.
Sedangkan kaum Muslimin sendiri, sebagian mereka masih tinggal di Mekkah meskipun dalam jumlah yang sedikit. Mereka dapat melakukan hal itu baik lantaran ada diantara mereka yang memang termasuk orang-orang terpandang dan memiliki gigi atau mendapatkan suaka dari seseorang. Meskipun demikian, mereka tetap menyembunyikan keislaman mereka dan menjauh dari pandangan para Thughat sedapat mungkin. Akan tetapi, sekalipun kehati-hatian dan kewaspadaan itu dilakukan, mereka sama sekali tidak dapat lolos begitu saja dari gangguan, penghinaan serta penganiayaan.
Dalam pada itu, Rasulullah tetap melakukan shalat dan beribadah kepada Allah didepan mata kepala para Thughat tersebut; beliau leluasa berdoa baik secara pelan atau terang-terangan. Tidak ada seorangpun yang bisa menghalangi dan memalingkannya dari hal itu sebab semua itu dilakukan dalam rangka menyampaikan risalah Allah semenjak beliau diperintahkan olehNya, dalam firmanNya: "Maka sampaikanlah olehmu segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik". (QS. 15/Al-Hijr: 94).
Dengan demikian, sebenarnya sewaktu-waktu, bisa saja kaum Musyrikun menyakiti beliau bila mereka mau sebab secara zhahirnya tidak ada yang menghalangi antara mereka dan diri beliau selain rasa malu dan segan serta adanya jaminan Abu Thalib dan rasa hormat terhadapnya. Sebab lainhnya, karena kekhawatiran mereka terhadap akibat yang fatal dari tindakan tersebut sehingga akan membuat suku Bani Hasyim berhimpun melawan mereka. Namun, lambat laun perasaan tersebut pupus dan tidak berpengaruh banyak terhadap physikologis mereka; karenanya mereka mulai menganggap remeh akan hal itu semenjak mereka merasa eksistensi berhala dan kepimpinan sprituil yang selama ini mereka pegang sudah semakin memudar, kalah saing oleh dakwah Muhammad Shallallâhu 'alaihi wasallam.
Diantara peristiwa-peristiwa yang dikisahkan oleh kitab-kitab as-Sunnah dan Sirah kepada kita serta didukung oleh bukti-bukti otentik bahwa memang terjadi pada masa tersebut adalah kisah 'Utaibah bin Abi Lahab yang mendatangi Rasululullah pada suatu hari sembari berkata: "aku mengingkari firman Allah: [wan najmi idzâ hawâ: Demi bintang ketika terbenam, (QS. 53:1)] dan yang (disebutkan sebagai) [danâ fa tadallâ : Kemudian dia (Jibril) mendekat, lalu bertambah dekat lagi, (QS. 53:8)]". Selepas itu, dia menyakiti beliau, merobek bajunya serta meludah ke arah wajahnya namun untung saja tidak mengenainya. Ketika itu Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam mendoakan (kebinasaan) atasnya: "Ya Allah, kirimkanlah kepadanya seekor anjing dari anjing-anjing (ciptaanMu) untuk (menerkam)-nya". Doa beliau ini telah diijabah oleh Allah, yaitu manakala suatu hari 'Utaibah keluar bersama beberapa orang Quraisy dan singgah di suatu tempat di Syam yang bernama az-Zarqâ'. Pada malam itu, ada banyak singa yang berkeliaran disitu. Melihat hal itu, 'Utaibah serta merta berseloroh: "wahai saudaraku, sungguh celaka! Inilah, demi Allah, pemangsaku sebagaimana yang didoakan oleh Muhammad atasku. Dia membunuhku padahal sedang berada di Mekkah sedangkan aku di Syam". Lalu singa itu menerkamnya di tengah kerumunan kaum tersebut, mencengkram kepalanya dan membunuhnya.
Kisah lainnya; disebutkan bahwa 'Uqbah bin Abi Mu'ith menginjak pundak beliau yang mulia saat beliau sedang sujud sehingga hampir-hampir kedua biji matanya keluar.
Diantara bukti lain yang menunjukkan bahwa para Thughat tersebut ingin membunuh beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam adalah kisah yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Abdullah bin 'Amru bin al-'Âsh, dia berkata:
"Aku datang saat mereka berkumpul-kumpul di hijr (yakni, Hijr Isma'il di Ka'bah-red), mereka menyebut-nyebut perihal Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Mereka berkata: 'Kita tidak pernah sampai menahan kesabaran seperti halnya kita sabar terhadap orang ini (Rasulullah-red), padahal, kita telah menahan sabar terhadapnya dalam masalah yang serius'. Manakala mereka dalam kondisi demikian, muncullah Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam menuju ke sana dengan berjalan, lalu beliau menyalami ar-Rukn (al-Yamaniy, salah satu sudut Ka'bah-red), kemudian beliau melewati mereka dan mengelilingi Baitullah. Mereka menghina beliau dengan beberapa ucapan, maka aku mengetahui hal itu dari raut wajah Rasulullah. Ketika beliau melewati mereka untuk kedua kalinya, mereka tetap melakukan hal yang sama terhadapnya dan aku mengetahuinya juga dari raut wajah beliau, kemudian beliau melewati mereka untuk ketiga kalinya dan mereka masih melakukan hal yang sama terhadapnya, lalu beliau berhenti dan berkata kepada mereka: 'maukah kalian mendengarkan (ini) wahai kaum Quraisy! Demi Yang jiwaku ada di tanganNya, sungguh aku datang membawakan sembelihan untuk kalian". Ucapan beliau ini berhasil mengalihkan konsentrasi mereka sehingga tidak seorangpun dari mereka melainkan seakan-akan ada burung yang bertengger diatas kepalanya. Bahkan orang yang paling kasar diantara mereka, memberikan ucapan selamat kepada beliau dengan sebaik-baik ucapan yang pernah beliau dapatkan. Orang itu berkata: 'pergilah wahai Abu al-Qâsim ! Demi Allah! engkau bukanlah orang yang bodoh'.
Pada keesokan harinya, mereka berkumpul kembali dan memperbincangkan perihal beliau, ketika beliau muncul, mereka secara serentak merubung dan mengitari beliau. Aku melihat salah seorang diantara mereka memegang jubah beliau, lantas Abu Bakar dengan segera membela, sembari menangis, dia berkata: 'apakah kalian akan membunuh seseorang lantaran dia berucap: 'Rabb-ku adalah Allah?'. Kemudian mereka berlalu. Ibnu 'Amru berkata: 'sungguh pemandangan itu merupakan perlakuan paling kasar yang pernah kulihat dilakukan oleh kaum Quraisy terhadap beliau' ". Demikian ringkasan kisahnya.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari 'Urwah bin az-Zubair, dia berkata: "aku bertanya kepada Ibnu 'Amru bin al-'Âsh: 'beritahukanlah kepadaku tentang perlakuan yang paling keras yang dilakukan oleh kaum Musyrikun terhadap Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam !'. Dia menjawab: ' saat Nabi sedang shalat di hijr Ka'bah, datanglah 'Uqbah bin Abi Mu'ith, lalu dia melilitkan pakaiannya ke leher beliau dan menariknya dengan kencang. Kemudian, Abu Bakar datang dan mencangkram pundaknya lalu mengenyahkannya dari sisi Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam sembari berkata: 'apakah kalian akan membunuh seseorang lantaran dia mengatakan: 'Rabb-ku adalah Allah?' ".
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Asma' disebutkan: "lantas ada orang yang berteriak datang kepada Abu Bakar seraya berkata: 'temuilah shahabatmu! (yakni, Rasulullah-red)'. Lalu dia keluar dari sisi kami dengan membawa empat buah jalinan rambut wanita. Saat keluar, dia berkata: 'apakah kalian akan membunuh seseorang lantaran dia mengatakan: 'Rabb-ku adalah Allah?, lalu mereka membiarkannya dan mendatangi Abu Bakar. Lalu dia pulang, dan saat itu kami tidak berani menyentuh jalinan rambut tersebut hingga dia mengembalikannya kepada kami".
Masuk Islamnya Hamzah bin Abdul Muththalib radhiallaahu 'anhu
Mengenai sebab keislamannya adalah bahwa suatu hari, Abu Jahal melewati Rasulullah di bukit Shafa, lalu dia menyakiti dan menganiaya beliau. Rasulullah diam saja, tidak berbicara sedikitpun kepadanya. Kemudian dia memukuli tubuh beliau dengan batu dibagian kepala sehingga memar dan darah mengalir. Selepas itu, dia pulang menuju tempat pertemuan kaum Quraisy di sisi Ka'bah dan berbincang dengan mereka. Kala itu, budak wanita Abdullah bin Jud'an berada di kediamannya diatas bukit Shafa dan menyaksikan pemandangan yang belum lama terjadi. Kebetulan, Hamzah datang dari berburu dengan menenteng busur panah. Maka serta merta dia memberitahukan kepadanya perihal perlakuan Abu Jahal tersebut. Menyikapi hal itu, sebagai seorang pemuda yang gagah lagi punya harga diri yang tinggi di kalangan suku Quraisy, Hamzah marah berat dan langsung bergegas pergi dan tidak peduli dengan orang yang menegurnya. Dia berkonsentrasi mempersiapkan segalanya bila berjumpa dengan Abu Jahal dan akan memberikan pelajaran yang paling pahit kepadanya. Maka, manakala dia masuk Masjid (al-Haram-red), dia langsung tegak persis di arah kepala Abu Jahal sembari berkata: "hai si hina dina! Engkau berani mencaci maki keponakanku padahal aku sudah memeluk agamanya?". Kemudian dia memukulinya dengan gagang busur panah dan membuatnya terluka dan babak belur. Melihat hal itu, sebagian orang-orang dari Bani Makhzum –yakni, dari suku Abu Jahal- terpancing emosinya, demikian pula dengan orang-orang dari Bani Hasyim –dari suku Hamzah-. Abu Jahal melerai dan berkata: "Biarkan Abu 'Imarah (kun-yah/julukan Hamzah-red)! Sebab aku memang telah mencaci maki keponakannya dengan cacian yang amat jelek".
Keislaman Hamzah pada mulanya adalah sebagai pelampiasan rasa percaya diri seseorang yang tidak sudi dihina oleh tuannya, namun kemudian Allah melapangkan dadanya. Dia kemudian menjadi orang yang berpegang teguh dengan al-'Urwatul Wutsqa dan menjadi kebanggaan kaum muslimin.
Masuk Islamnya 'Umar bin al-Khaththab radhiallaahu 'anhu
Di tengah suhu yang sama pula, seberkas cahaya yang lebih benderang dari yang
pertama kembali menyinari jalan. Itulah, keislaman 'Umar bin al-Khaththab. Dia
masuk Islam pada bulan Dzulhijjah, tahun ke-6 dari kenabian, yaitu tiga hari
setelah keislaman Hamzah radhiallaahu 'anhu. Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam
memang telah berdoa untuk keislamannya sebagaimana hadits yang dikeluarkan oleh
at-Turmuziy (dan dia menshahihkannya) dari Ibnu 'Umar dan hadits yang
dikeluarkan oleh ath-Thabraniy dari Ibnu Mas'ud dan Anas bahwasanya Nabi
Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: "Ya Allah! muliakanlah/kokohkanlah
Islam ini dengan salah seorang dari dua orang yang paling Engkau cintai: 'Umar
bin al-Khaththab atau Abu Jahal bin Hisyam". Ternyata, yang paling
dicintai oleh Allah adalah 'Umar radhiallaahu 'anhu.
Setelah meneliti secara cermat seluruh periwayatan yang mengisahkan keislamannya, nampak bahwa campaknya Islam ke dalam hatinya berlangsung secara perlahan, akan tetapi sebelum kita membicarakan ringkasannya, perlu kami singgung terlebih dahulu karakter dan watak dari kepribadiannya.
Beliau radhiallaahu 'anhu dikenal sebagai seorang yang temperamental dan memiliki harga diri yang tinggi. Sangat banyak kaum muslimin merasakan beragam penganiayaan yang dilakukannya terhadap mereka. Sebenarnya, secara lahiriyah apa yang menghinggapi perasaannya amatlah kontras; antara keharusan menghormati tatanan adat yang telah dibuat oleh nenek moyangnya, kekaguman terhadap mental baja kaum muslimin dalam menghadapi berbagai cobaan demi menjaga 'aqidah mereka serta timbulnya berbagai keraguan dalam dirinya sementara sebagai seorang cendikiawan dia beranggapan bahwa apa yang diseru oleh Islam bisa saja lebih agung dan suci dari selainnya; oleh karena itu begitu memberontak langsung saja dia berteriak lantang.
Mengenai ringkasan kisah tersebut -yang sudah disinkronkan- berkaitan dengan keislamannya; bermula dari tindakannya pada suatu malam bermalam di luar rumahnya, lalu dia pergi menuju al-Haram dan masuk ke dalam tirai Ka'bah. Saat itu, Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam tengah berdiri melakukan shalat dan membaca surat al- Hâqqah . Pemandangan itu dimanfaatkan oleh 'Umar untuk mendengarkannya dengan khusyu' sehingga membuatnya terkesan dengan susunannya. Dia berkata: "aku berkata pada diriku: 'Demi Allah! ini (benar) adalah (ucapan) tukang sya'ir sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Quraisy!'. Lalu beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam membaca : "Innahû laqaulu rasûlin karîm. Wa mâ huwa biqauli syâ'ir. Qalîlan mâ tu'minûn (artinya: 'sesungguhnya al-Qur'an itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada kepada) Rasul yang mulia, dan al-Qur'an itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kalian beriman kepadanya')" . (Q.S. al-Hâqqah: 40, 41). Lantas aku berkata pada diriku: "ini adalah (ucapan) tukang tenung". Lalu beliau meneruskan bacaannya: "wa lâ biqauli kâhin. Qalîlan mâ tadzakkarûn. Tanzîlun min rabbil 'âlamîn (artinya: 'Dan, bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran darinya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Rabb semesta alam')" hingga akhir surat tersebut. Maka, ketika itulah Islam memasuki relung hatiku' ".
Inilah awal benih-benih Islam merangsak ke dalam relung hati 'Umar bin al-Khaththab. Tetapi kulit luar sentimentil Jahiliyyah dan fanatisme terhadap tradisi serta kebanggaan akan agama nenek moyang justru mengalahkan inti hakikat yang dibisikkan oleh hatinya. Akhirnya, dia tetap bergiat dalam upayanya melawan Islam, tanpa menghiraukan perasaan yang bersemayam dibalik kulit luar tersebut.
Diantara bukti nyata kekerasan wataknya dan rasa permusuhan yang sudah di luar batas terhadap Rasulullah adalah saat suatu hari dia keluar sambil menghunus pedang hendak membunuh beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam. Ketika itu, dia bertemu dengan Nu'aim bin 'Abdullah an-Nahham al-'Adawiy. (dalam riwayat yang lain disebutkan: "seseorang dari suku Bani Zahrah" atau "seseorang dari suku Bani Makhzum"). Orang tersebut berkata: "hendak kemana engkau, wahai 'Umar?".
Dia menjawab:"aku ingin membunuh Muhammad".
Orang tersebut berkata lagi: "kalau Muhammad engkau bunuh, bagaimana engkau akan merasa aman dari kejaran Bani Hasyim dan Bani Zahrah?".
'Umar menjawab: "menurutku, sekarang ini engkau sudah menjadi penganut ash-Shâbiah (maksudnya: Islam-red) dan keluar dari agamamu".
Orang itu berkata kepadanya: "maukah aku tunjukkan kepadamu yang lebih mengagetkanmu lagi, wahai 'Umar? Sesungguhnya saudara (perempuan) dan iparmu juga telah menjadi penganut ash-Shâbiah dan meninggalkan agama mereka berdua yang sekarang ini!".
Mendengar hal itu, 'Umar dengan segera berangkat mencari keduanya dan saat dia sampai di tengah-tengah mereka, disana dia menjumpai Khabbab bin al-Aratt yang membawa shahîfah (lembaran al-Qur'an) bertuliskan: "Thâha" dan membacakannya untuk keduanya –sebab dia secara rutin mendatangi keduanya dan membacakan al-Qur'an terhadap keduanya-. Tatkala Khabbab mendengar gerak-gerik 'Umar, dia menyelinap ke bagian belakang rumah sedangkan saudara perempuan 'Umar menutupi shahifah tersebut. Ketika mendekati rumah, 'Umar telah mendengar bacaan Khabbab terhadap mereka berdua, karenanya saat dia masuk langsung bertanya: "Apa gerangan suara bisik-bisik yang aku dengar dari kalian?".
Keduanya menjawab: "tidak, hanya sekedar perbincangan diantara kami".
Dia berkata lagi: "nampaknya, kalian berdua sudah menjadi penganut ash-Shâbiah".
Iparnya berkata: "wahai 'Umar! Bagaimana pendapatmu jika kebenaran itu berada pada selain agamamu?".
Mendengar itu, 'Umar langsung melompat ke arah iparnya tersebut lalu menginjak-injaknya dengan keras. Lantas saudara perempuannya datang dan mengangkat suaminya menjauh darinya namun dia justru ditampar oleh Umar sehingga darah mengalir dari wajahnya -dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan bahwa dia memukulnya sehingga memar terluka-. Saudaranya berkata dalam keadaan marah: "wahai 'Umar! Jika kebenaran ada pada selain agamamu, maka bersaksilah bahwa tiada Tuhan (Yang berhak disembah) selain Allah dan bersaksilah bahwa Muhammad adalah Rasulullah".
Manakala 'Umar merasa putus asa dan menyaksikan kondisi saudaranya yang berdarah, dia menyesal dan merasa malu, lalu berkata: "berikan kitab yang ada ditangan kalian ini kepadaku dan bacakan untukku!".
Saudaranya itu berkata: "sesungguhnya engkau itu najis, dan tidak ada yang boleh menyentuhnya melainkan orang-orang yang suci; oleh karena itu, berdiri dan mandilah!". Kemudian dia berdiri dan mandi, lalu mengambil kitab tersebut dan membaca: Bismillâhirrahmânirrahîm. Dia berseloroh: "sungguh nama-nama yang baik dan suci". Kemudian dia melanjutkan dan membaca (artinya): "Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku". (QS. 20/thâha: 14). Dia berseloroh lagi: "alangkah indah dan mulianya kalam ini! Kalau begitu, tolong bawa aku ke hadapan Muhammad!".
Saat Khabbab mendengar ucapan 'Umar, dia segera keluar dari persembunyiannya sembari berkata: "wahai 'umar, bergembiralah karena sesungguhnya aku berharap engkaulah yang dimaksud dalam doa Rasulullah pada malam Kamis "Ya Allah! muliakanlah/kokohkanlah Islam ini dengan salah seorang dari dua orang yang paling Engkau cintai: 'Umar bin al-Khaththab atau Abu Jahal bin Hisyam". Sementara Rasulullah (saat ini) ada di rumah yang terletak di kaki bukit shafa.
'Umar mengambil pedangnya sembari menghunusnya, lalu berangkat hingga tiba di rumah tempat beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam berada tersebut. Dia mengetuk pintu, lalu seorang penjaga pintu mengintip dari celah-celah pintu tersebut dan melihatnya menghunus pedang. Penjaga tersebut kemudian melaporkan hal itu kepada Rasulullah. Para shahabat yang berjaga bersiaga penuh mengantisipasinya. Gelagat mereka tersebut mengundang tanda tanya Hamzah: "ada apa gerangan dengan kalian?".
Mereka menjawab: " 'Umar!".
Dia berkata: "oh, 'Umar! Bukakan pintu untuknya! Jika dia datang dengan niat baik, kita akan membantunya akan tetapi jika dia datang dengan niat jahat, kita akan membunuhnya dengan pedangnya sendiri".
Saat itu, Rasulullah masih di dalam rumah dan diberitahu perihal 'Umar, maka beliau pun keluar menyongsongnya dan menjumpainya di bilik. Beliau memegang baju dan gagang pedangnya, lalu menariknya dengan keras, seraya bersabda: "tidakkah engkau akan berhenti dari tindakanmu, wahai 'Umar hingga Allah menghinakanmu dan menimpakan bencana sebagaimana yang terjadi terhadap al-Walid bin al-Mughirah? Ya Allah! inilah 'Umar bin al-Khaththab! Ya Allah! muliakanlah/kokohkanlah Islam dengan 'Umar bin al-Khaththab!". Umar berkata: "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan (Yang berhak disembah) selain Allah dan engkau adalah Rasulullah". Dan dia pun masuk Islam yang disambut dengan pekikan takbir oleh penghuni rumah sehingga terdengar oleh orang yang berada didalam al-Masjid (al-Haram-red).
'Umar radhiallaahu 'anhu merupakan sosok yang memiliki rasa harga diri yang tinggi dan keinginan yang tidak boleh dihalang-halangi; oleh karena itulah, keislamannya menimbulkan goncangan luar biasa di kalangan kaum Musyrikun dan membuat mereka semakin terhina dan patah arang sementara bagi kaum Muslimin, hal itu menambah 'izzah, kemuliaan dan kegembiraan.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dengan sanadnya dari 'Umar, dia berkata: "tatkala aku sudah masuk Islam, aku mengingat-ingat, sesiapa penduduk Mekkah yang paling keras terhadap Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam. Aku berkata: 'pasti Abu Jahal lah orangnya". Lalu aku datangi dia dan aku ketuk pintu rumahnya. Dia pun keluar menyambutku sembari berkata:
"selamat datang! Ada apa denganmu?".
"aku datang untuk memberitahumu bahwa aku telah beriman kepada Allah dan RasulNya, Muhammad, serta membenarkan apa yang telah dibawanya". Lalu dia menggebrak pintu di hadapan wajahku sembari berkata:
"Mudah-mudahan Allah menjelekkanmu dan apa yang engkau bawa".
Dalam versi Ibnu al-Jauziy disebutkan bahwa 'Umar radhiallaahu 'anhu berkata: "Dulu, jika seseorang masuk Islam, maka orang-orang menggelayutinya lantas memukulinya dan dia juga memukuli mereka, namun tatkala aku telah masuk Islam, aku mendatangi pamanku, al-'Âshiy bin Hâsyim, dan memberitahukan kepadanya hal itu, dia malah masuk rumah. Lalu aku pergi ke salah seorang pembesar Quraisy -sepertinya Abu Jahal- dan memberitahukannya perihal keislamanku, tetapi dia juga malah masuk rumah".
Ibnu Hisyam juga menyebutkan -demikian pula Ibnu al-Jauziy secara ringkas- bahwa ketika dia ('Umar) masuk Islam, dia mendatangi Jamil bin Ma'mar al-Jumahiy –yang merupakan penyambung lidah Quraisy yang paling getol- dan memberitahukan kepadanya tentang keislamannya, orang ini langsung berteriak dengan sekeras-kerasnya bahwa Ibnu al-Khaththab telah menjadi penganut ash-Shâbiah. Umar pun menimpali –dibelakangnya- : "dia bohong, akan tetapi aku telah masuk Islam". Merekapun menyergapnya sehingga akhirnya terjadilah pertarungan antara 'Umar seorang diri melawan mereka. Pertarungan itu baru selesai saat matahari sudah berada tepat diatas kepala mereka, tetapi 'Umar sudah nampak kepayahan. Dia hanya bisa duduk sementara mereka berdiri dekat kepalanya. Dia berkata kepada mereka: "lakukanlah apa yang kalian suka. Sungguh aku bersumpah atas nama Allah, bahwa andai kami berjumlah tiga ratus orang, niscaya telah kami biarkan mereka untuk kalian atau kalian biarkan mereka untuk kami".
Setelah kejadian itu, kaum Musyrikun berangkat dalam jumlah besar menuju rumahnya dengan tujuan akan membunuhnya. Imam al-Bukhariy meriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Umar, dia berkata: "Saat 'Umar berada di rumahnya dalam kondisi cemas, datanglah al-'Âsh bin Wâil as-Sahmiy, Abu 'Amru, sembari membawa mantel dan baju yang dilipat dan terbuat dari sutera. Dia berasal dari suku Bani Sahm yang merupakan sekutu kami di masa Jahiliyyah. 'Umar berkata kepadanya: "ada apa denganmu?".
"kaummu mengaku akan membunuhku bila aku masuk Islam", katanya.
'Umar berkata – setelah mengatakan kepadanya: 'kamu aman'-: "kalau begitu, tidak akan ada yang bisa melakukan hal itu terhadapmu".
Asl-Âsh kemudian keluar dan mendapatkan banyak orang yang sudah memadati lembah tersebut, lantas dia berkata kepada mereka: "hendak kemana kalian?"
Mereka menjawab: "menemui si Ibnu al-Khaththab yang sudah menjadi penganut ash-Shâbiah ini!".
Dia menjawab: "kalian tidak akan bisa melakukan hal itu terhadapnya". Orang-orang itupun pergi secara bergerilya.
Dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan : "demi Allah! seolah-olah mereka itu bagaikan pakaian yang tersingkap".
Demikianlah dampak keislamannya terhadap kaum Musyrikun, sedangkan terhadap kaum muslimin adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Mujâhid dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: "aku bertanya kepada 'Umar: 'kenapa kamu dijuluki al-Fârûq? '.
Dia berkata: 'Hamzah masuk Islam tiga hari lebih dahulu dariku -selanjutnya dia menceritakan kisah keislamannya, dan diakhirnya dia berkata- lalu aku berkata (saat aku sudah masuk Islam):
"Wahai Rasulullah! Bukankah kita berada diatas kebenaran; mati ataupun hidup?".
Beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam menjawab: "tentu saja! Demi Yang jiwaku berada ditanganNya, sesungguhnya kalian berada diatas kebenaran; mati ataupun hidup".
Lalu aku berkata: "lantas untuk apa bersembunyi-sembunyi? Demi Yang telah mengutusmu dengan kebenaran, sungguh kita harus keluar (menampakkan diri). Lalu beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam membagi kami dalam dua barisan; salah satunya dipimpin oleh Hamzah dan yang lainnya, dipimpin olehku. deru debu dan pasir tersebut yang ditinggalkannya ibarat ceceran gandum yang dihaluskan. Akhirnya kami memasuki al-Masjid al-Haram. Kemudian aku menoleh ke arah Quraisy dan Hamzah; mereka tampak diliputi oleh kesedihan yang tidak pernah mereka rasakan seperti itu sebelumnya. Sejak saat itulah, Rasulullah menamaiku "al-Fârûq ".
Ibnu Mas'ud sering berkata:"sebelumnya, kami tak berani melakukan shalat di sisi Ka'bah hingga 'Umar masuk Islam".
Dari Shuhaib bin Sinan ar-Rûmiy radhiallaahu 'anhu, dia berkata: "ketika 'Umar masuk Islam, barulah Islam menampakkan diri dan dakwah kepadanya dilakukan secara terang-terangan. Kami juga berani duduk-duduk secara melingkar di sekitar Baitullah, melakukan thawaf, mengimbangi perlakuan orang yang kasar kepada kami serta membalas sebagian yang diperbuatnya".
Dari 'Abdullah bin Mas'ud, dia berkata:"kami senantiasa merasakan 'izzah sejak 'Umar masuk Islam".
Setelah meneliti secara cermat seluruh periwayatan yang mengisahkan keislamannya, nampak bahwa campaknya Islam ke dalam hatinya berlangsung secara perlahan, akan tetapi sebelum kita membicarakan ringkasannya, perlu kami singgung terlebih dahulu karakter dan watak dari kepribadiannya.
Beliau radhiallaahu 'anhu dikenal sebagai seorang yang temperamental dan memiliki harga diri yang tinggi. Sangat banyak kaum muslimin merasakan beragam penganiayaan yang dilakukannya terhadap mereka. Sebenarnya, secara lahiriyah apa yang menghinggapi perasaannya amatlah kontras; antara keharusan menghormati tatanan adat yang telah dibuat oleh nenek moyangnya, kekaguman terhadap mental baja kaum muslimin dalam menghadapi berbagai cobaan demi menjaga 'aqidah mereka serta timbulnya berbagai keraguan dalam dirinya sementara sebagai seorang cendikiawan dia beranggapan bahwa apa yang diseru oleh Islam bisa saja lebih agung dan suci dari selainnya; oleh karena itu begitu memberontak langsung saja dia berteriak lantang.
Mengenai ringkasan kisah tersebut -yang sudah disinkronkan- berkaitan dengan keislamannya; bermula dari tindakannya pada suatu malam bermalam di luar rumahnya, lalu dia pergi menuju al-Haram dan masuk ke dalam tirai Ka'bah. Saat itu, Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam tengah berdiri melakukan shalat dan membaca surat al- Hâqqah . Pemandangan itu dimanfaatkan oleh 'Umar untuk mendengarkannya dengan khusyu' sehingga membuatnya terkesan dengan susunannya. Dia berkata: "aku berkata pada diriku: 'Demi Allah! ini (benar) adalah (ucapan) tukang sya'ir sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Quraisy!'. Lalu beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam membaca : "Innahû laqaulu rasûlin karîm. Wa mâ huwa biqauli syâ'ir. Qalîlan mâ tu'minûn (artinya: 'sesungguhnya al-Qur'an itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada kepada) Rasul yang mulia, dan al-Qur'an itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kalian beriman kepadanya')" . (Q.S. al-Hâqqah: 40, 41). Lantas aku berkata pada diriku: "ini adalah (ucapan) tukang tenung". Lalu beliau meneruskan bacaannya: "wa lâ biqauli kâhin. Qalîlan mâ tadzakkarûn. Tanzîlun min rabbil 'âlamîn (artinya: 'Dan, bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran darinya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Rabb semesta alam')" hingga akhir surat tersebut. Maka, ketika itulah Islam memasuki relung hatiku' ".
Inilah awal benih-benih Islam merangsak ke dalam relung hati 'Umar bin al-Khaththab. Tetapi kulit luar sentimentil Jahiliyyah dan fanatisme terhadap tradisi serta kebanggaan akan agama nenek moyang justru mengalahkan inti hakikat yang dibisikkan oleh hatinya. Akhirnya, dia tetap bergiat dalam upayanya melawan Islam, tanpa menghiraukan perasaan yang bersemayam dibalik kulit luar tersebut.
Diantara bukti nyata kekerasan wataknya dan rasa permusuhan yang sudah di luar batas terhadap Rasulullah adalah saat suatu hari dia keluar sambil menghunus pedang hendak membunuh beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam. Ketika itu, dia bertemu dengan Nu'aim bin 'Abdullah an-Nahham al-'Adawiy. (dalam riwayat yang lain disebutkan: "seseorang dari suku Bani Zahrah" atau "seseorang dari suku Bani Makhzum"). Orang tersebut berkata: "hendak kemana engkau, wahai 'Umar?".
Dia menjawab:"aku ingin membunuh Muhammad".
Orang tersebut berkata lagi: "kalau Muhammad engkau bunuh, bagaimana engkau akan merasa aman dari kejaran Bani Hasyim dan Bani Zahrah?".
'Umar menjawab: "menurutku, sekarang ini engkau sudah menjadi penganut ash-Shâbiah (maksudnya: Islam-red) dan keluar dari agamamu".
Orang itu berkata kepadanya: "maukah aku tunjukkan kepadamu yang lebih mengagetkanmu lagi, wahai 'Umar? Sesungguhnya saudara (perempuan) dan iparmu juga telah menjadi penganut ash-Shâbiah dan meninggalkan agama mereka berdua yang sekarang ini!".
Mendengar hal itu, 'Umar dengan segera berangkat mencari keduanya dan saat dia sampai di tengah-tengah mereka, disana dia menjumpai Khabbab bin al-Aratt yang membawa shahîfah (lembaran al-Qur'an) bertuliskan: "Thâha" dan membacakannya untuk keduanya –sebab dia secara rutin mendatangi keduanya dan membacakan al-Qur'an terhadap keduanya-. Tatkala Khabbab mendengar gerak-gerik 'Umar, dia menyelinap ke bagian belakang rumah sedangkan saudara perempuan 'Umar menutupi shahifah tersebut. Ketika mendekati rumah, 'Umar telah mendengar bacaan Khabbab terhadap mereka berdua, karenanya saat dia masuk langsung bertanya: "Apa gerangan suara bisik-bisik yang aku dengar dari kalian?".
Keduanya menjawab: "tidak, hanya sekedar perbincangan diantara kami".
Dia berkata lagi: "nampaknya, kalian berdua sudah menjadi penganut ash-Shâbiah".
Iparnya berkata: "wahai 'Umar! Bagaimana pendapatmu jika kebenaran itu berada pada selain agamamu?".
Mendengar itu, 'Umar langsung melompat ke arah iparnya tersebut lalu menginjak-injaknya dengan keras. Lantas saudara perempuannya datang dan mengangkat suaminya menjauh darinya namun dia justru ditampar oleh Umar sehingga darah mengalir dari wajahnya -dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan bahwa dia memukulnya sehingga memar terluka-. Saudaranya berkata dalam keadaan marah: "wahai 'Umar! Jika kebenaran ada pada selain agamamu, maka bersaksilah bahwa tiada Tuhan (Yang berhak disembah) selain Allah dan bersaksilah bahwa Muhammad adalah Rasulullah".
Manakala 'Umar merasa putus asa dan menyaksikan kondisi saudaranya yang berdarah, dia menyesal dan merasa malu, lalu berkata: "berikan kitab yang ada ditangan kalian ini kepadaku dan bacakan untukku!".
Saudaranya itu berkata: "sesungguhnya engkau itu najis, dan tidak ada yang boleh menyentuhnya melainkan orang-orang yang suci; oleh karena itu, berdiri dan mandilah!". Kemudian dia berdiri dan mandi, lalu mengambil kitab tersebut dan membaca: Bismillâhirrahmânirrahîm. Dia berseloroh: "sungguh nama-nama yang baik dan suci". Kemudian dia melanjutkan dan membaca (artinya): "Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku". (QS. 20/thâha: 14). Dia berseloroh lagi: "alangkah indah dan mulianya kalam ini! Kalau begitu, tolong bawa aku ke hadapan Muhammad!".
Saat Khabbab mendengar ucapan 'Umar, dia segera keluar dari persembunyiannya sembari berkata: "wahai 'umar, bergembiralah karena sesungguhnya aku berharap engkaulah yang dimaksud dalam doa Rasulullah pada malam Kamis "Ya Allah! muliakanlah/kokohkanlah Islam ini dengan salah seorang dari dua orang yang paling Engkau cintai: 'Umar bin al-Khaththab atau Abu Jahal bin Hisyam". Sementara Rasulullah (saat ini) ada di rumah yang terletak di kaki bukit shafa.
'Umar mengambil pedangnya sembari menghunusnya, lalu berangkat hingga tiba di rumah tempat beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam berada tersebut. Dia mengetuk pintu, lalu seorang penjaga pintu mengintip dari celah-celah pintu tersebut dan melihatnya menghunus pedang. Penjaga tersebut kemudian melaporkan hal itu kepada Rasulullah. Para shahabat yang berjaga bersiaga penuh mengantisipasinya. Gelagat mereka tersebut mengundang tanda tanya Hamzah: "ada apa gerangan dengan kalian?".
Mereka menjawab: " 'Umar!".
Dia berkata: "oh, 'Umar! Bukakan pintu untuknya! Jika dia datang dengan niat baik, kita akan membantunya akan tetapi jika dia datang dengan niat jahat, kita akan membunuhnya dengan pedangnya sendiri".
Saat itu, Rasulullah masih di dalam rumah dan diberitahu perihal 'Umar, maka beliau pun keluar menyongsongnya dan menjumpainya di bilik. Beliau memegang baju dan gagang pedangnya, lalu menariknya dengan keras, seraya bersabda: "tidakkah engkau akan berhenti dari tindakanmu, wahai 'Umar hingga Allah menghinakanmu dan menimpakan bencana sebagaimana yang terjadi terhadap al-Walid bin al-Mughirah? Ya Allah! inilah 'Umar bin al-Khaththab! Ya Allah! muliakanlah/kokohkanlah Islam dengan 'Umar bin al-Khaththab!". Umar berkata: "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan (Yang berhak disembah) selain Allah dan engkau adalah Rasulullah". Dan dia pun masuk Islam yang disambut dengan pekikan takbir oleh penghuni rumah sehingga terdengar oleh orang yang berada didalam al-Masjid (al-Haram-red).
'Umar radhiallaahu 'anhu merupakan sosok yang memiliki rasa harga diri yang tinggi dan keinginan yang tidak boleh dihalang-halangi; oleh karena itulah, keislamannya menimbulkan goncangan luar biasa di kalangan kaum Musyrikun dan membuat mereka semakin terhina dan patah arang sementara bagi kaum Muslimin, hal itu menambah 'izzah, kemuliaan dan kegembiraan.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dengan sanadnya dari 'Umar, dia berkata: "tatkala aku sudah masuk Islam, aku mengingat-ingat, sesiapa penduduk Mekkah yang paling keras terhadap Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam. Aku berkata: 'pasti Abu Jahal lah orangnya". Lalu aku datangi dia dan aku ketuk pintu rumahnya. Dia pun keluar menyambutku sembari berkata:
"selamat datang! Ada apa denganmu?".
"aku datang untuk memberitahumu bahwa aku telah beriman kepada Allah dan RasulNya, Muhammad, serta membenarkan apa yang telah dibawanya". Lalu dia menggebrak pintu di hadapan wajahku sembari berkata:
"Mudah-mudahan Allah menjelekkanmu dan apa yang engkau bawa".
Dalam versi Ibnu al-Jauziy disebutkan bahwa 'Umar radhiallaahu 'anhu berkata: "Dulu, jika seseorang masuk Islam, maka orang-orang menggelayutinya lantas memukulinya dan dia juga memukuli mereka, namun tatkala aku telah masuk Islam, aku mendatangi pamanku, al-'Âshiy bin Hâsyim, dan memberitahukan kepadanya hal itu, dia malah masuk rumah. Lalu aku pergi ke salah seorang pembesar Quraisy -sepertinya Abu Jahal- dan memberitahukannya perihal keislamanku, tetapi dia juga malah masuk rumah".
Ibnu Hisyam juga menyebutkan -demikian pula Ibnu al-Jauziy secara ringkas- bahwa ketika dia ('Umar) masuk Islam, dia mendatangi Jamil bin Ma'mar al-Jumahiy –yang merupakan penyambung lidah Quraisy yang paling getol- dan memberitahukan kepadanya tentang keislamannya, orang ini langsung berteriak dengan sekeras-kerasnya bahwa Ibnu al-Khaththab telah menjadi penganut ash-Shâbiah. Umar pun menimpali –dibelakangnya- : "dia bohong, akan tetapi aku telah masuk Islam". Merekapun menyergapnya sehingga akhirnya terjadilah pertarungan antara 'Umar seorang diri melawan mereka. Pertarungan itu baru selesai saat matahari sudah berada tepat diatas kepala mereka, tetapi 'Umar sudah nampak kepayahan. Dia hanya bisa duduk sementara mereka berdiri dekat kepalanya. Dia berkata kepada mereka: "lakukanlah apa yang kalian suka. Sungguh aku bersumpah atas nama Allah, bahwa andai kami berjumlah tiga ratus orang, niscaya telah kami biarkan mereka untuk kalian atau kalian biarkan mereka untuk kami".
Setelah kejadian itu, kaum Musyrikun berangkat dalam jumlah besar menuju rumahnya dengan tujuan akan membunuhnya. Imam al-Bukhariy meriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Umar, dia berkata: "Saat 'Umar berada di rumahnya dalam kondisi cemas, datanglah al-'Âsh bin Wâil as-Sahmiy, Abu 'Amru, sembari membawa mantel dan baju yang dilipat dan terbuat dari sutera. Dia berasal dari suku Bani Sahm yang merupakan sekutu kami di masa Jahiliyyah. 'Umar berkata kepadanya: "ada apa denganmu?".
"kaummu mengaku akan membunuhku bila aku masuk Islam", katanya.
'Umar berkata – setelah mengatakan kepadanya: 'kamu aman'-: "kalau begitu, tidak akan ada yang bisa melakukan hal itu terhadapmu".
Asl-Âsh kemudian keluar dan mendapatkan banyak orang yang sudah memadati lembah tersebut, lantas dia berkata kepada mereka: "hendak kemana kalian?"
Mereka menjawab: "menemui si Ibnu al-Khaththab yang sudah menjadi penganut ash-Shâbiah ini!".
Dia menjawab: "kalian tidak akan bisa melakukan hal itu terhadapnya". Orang-orang itupun pergi secara bergerilya.
Dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan : "demi Allah! seolah-olah mereka itu bagaikan pakaian yang tersingkap".
Demikianlah dampak keislamannya terhadap kaum Musyrikun, sedangkan terhadap kaum muslimin adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Mujâhid dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: "aku bertanya kepada 'Umar: 'kenapa kamu dijuluki al-Fârûq? '.
Dia berkata: 'Hamzah masuk Islam tiga hari lebih dahulu dariku -selanjutnya dia menceritakan kisah keislamannya, dan diakhirnya dia berkata- lalu aku berkata (saat aku sudah masuk Islam):
"Wahai Rasulullah! Bukankah kita berada diatas kebenaran; mati ataupun hidup?".
Beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam menjawab: "tentu saja! Demi Yang jiwaku berada ditanganNya, sesungguhnya kalian berada diatas kebenaran; mati ataupun hidup".
Lalu aku berkata: "lantas untuk apa bersembunyi-sembunyi? Demi Yang telah mengutusmu dengan kebenaran, sungguh kita harus keluar (menampakkan diri). Lalu beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam membagi kami dalam dua barisan; salah satunya dipimpin oleh Hamzah dan yang lainnya, dipimpin olehku. deru debu dan pasir tersebut yang ditinggalkannya ibarat ceceran gandum yang dihaluskan. Akhirnya kami memasuki al-Masjid al-Haram. Kemudian aku menoleh ke arah Quraisy dan Hamzah; mereka tampak diliputi oleh kesedihan yang tidak pernah mereka rasakan seperti itu sebelumnya. Sejak saat itulah, Rasulullah menamaiku "al-Fârûq ".
Ibnu Mas'ud sering berkata:"sebelumnya, kami tak berani melakukan shalat di sisi Ka'bah hingga 'Umar masuk Islam".
Dari Shuhaib bin Sinan ar-Rûmiy radhiallaahu 'anhu, dia berkata: "ketika 'Umar masuk Islam, barulah Islam menampakkan diri dan dakwah kepadanya dilakukan secara terang-terangan. Kami juga berani duduk-duduk secara melingkar di sekitar Baitullah, melakukan thawaf, mengimbangi perlakuan orang yang kasar kepada kami serta membalas sebagian yang diperbuatnya".
Dari 'Abdullah bin Mas'ud, dia berkata:"kami senantiasa merasakan 'izzah sejak 'Umar masuk Islam".
5. Utusan Quraisy menemui Rasulullah
Setelah masuk islamnya dua orang pahlawan yang agung, Hamzah bin ‘Abdul Muththalib dan ‘Umar bin al-Khaththab radhiallaahu 'anhuma, awan kelabu mulai menyelimuti kaum Musyrikun dan barulah tersadar dari mabuk mereka yang selama ini digunakan untuk menyiksa kaum Muslimin. Kali ini, mereka berupaya untuk mencari jalan lain, yaitu mengajukan negosiasi dimana mereka akan memenuhi semua tuntutan yang diinginkan oleh beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam asalkan mau menghentikan dakwahnya. Mereka yang perlu dikasihani itu, tidak mengetahui bahwa setiap apa saja yang dapat disinari oleh matahari tidak memiliki nilai sama sekali walau sebesar nyamuk sekalipun dibandingkan dakwah yang beliau emban. Akhirnya, mereka mengalami kegagalan lagi.
Ibnu Ishâq berkata: “Yazîd bin Ziyâd berkata kepadaku, dari Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhiy, dia berkata: ‘suatu hari ‘Utbah bin Rabî’ah -yang merupakan seorang kepala suku- berbicara di perkumpulan Quraisy saat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam duduk-duduk seorang diri di masjid:
‘wahai kaum Quraisy! Bagaimana pendapat kamu bila aku menyongsong Muhammad dan berbicara dengannya lalu menawarkan kepadanya beberapa hal yang aku berharap semoga saja sebagiannya dia terima lalu setelah itu kita berikan kepadanya apa yang dia mau sehingga dia tidak lagi mengganggu kita?.
Hal itu dikatakannya ketika Hamzah radhiallaahu 'anhu masuk Islam dan melihat bahwa para shahabat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam semakin hari semakin banyak dan bertambah, lalu mereka berkata kepadanya:
“Tentu saja bagus, wahai Abu al-Walid! Pergilah menyongsongnya dan berbicaralah dengannya!”.
‘Utbah segera menyongsong beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam dan duduk disampingnya seraya berkata:
“wahai anak saudaraku! Sesungguhnya engkau telah datang kepada orang-orang dengan sesuatu hal yang amat besar sehingga membuat mereka bercerai berai, angan-angan mereka engkau kerdilkan, tuhan-tuhan serta agama mereka engkau cela dan nenek-nenek moyang mereka engkau kafirkan. Dengarlah! Aku ingin menawarkan beberapa hal kepadamu lantas bagaimana pendapatmu tentangnya?. Semoga saja sebagiannya dapat engkau terima”.
“wahai Abu al-Walîd! katakanlah, aku akan mendengarkannya!”, jawab Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam .
“wahai anak saudaraku! Jika apa yang engkau bawa itu semata hanya menginginkan harta, kami akan mengumpulkan harta-harta kami untukmu sehingga engkau menjadi orang yang paling banyak hartanya diantara kami; jika apa yang engkau bawa itu semata hanya menginginkan kedudukan, maka kami akan mengangkatmu menjadi tuan kami hingga kami tidak akan melakukan sesuatupun sebelum engkau perintahkan; jika apa yang engkau bawa itu semata hanya menginginkan kerajaan, maka kami akan mengangkatmu menjadi raja; dan jika apa yang datang kepadamu adalah jin yang engkau lihat dan tidak dapat engkau mengusirnya dari dirimu, kami akan memanggilkan tabib untukmu serta akan kami infakkan harta kami demi kesembuhanmu, sebab orang terkadang terkena oleh jin sehingga perlu diobati”, katanya - atau sebagaimana yang dia katakan- hingga akhirnya ‘Utbah selesai dan Rasulullah mendengarkannya.
Lalu beliau berkata: “wahai ‘Utbah! Sudah selesaikah engkau?”.
Dia menjawab: “ya”.
Beliau berkata: “ Nah, sekarang dengarkanlah dariku!”.
Dia menjawab: “ya, akan aku dengar”.
Beliau membacakan firmanNya (surat Fushshilat dari ayat 1-5) artinya :” Hâ mîm [1]. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang [2]. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam Bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui [3]. Yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (daripadanya); maka mereka tidak (mau) mendengarkan [4]. Mereka berkata: ‘hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya..[5]”.
Kemudian Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam melanjutkan bacaannya.
Tatkala ‘Utbah mendengarnya, dia malah diam serta khusyu’ mendengarkan sambil bertumpu diatas kedua tangannya yang diletakkan dibelakang punggungnya hingga beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam selesai dan ketika melewati ayat sajadah, beliau bersujud. Setelah itu, beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: “wahai Abu al-Walîd, engkau telah mendengarkan apa yang telah engkau dengar tadi. Sekarang terserah padamu”.
‘Utbah bangkit dan menemui para shahabatnya. Melihat kedatangannya, sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain:
“kami bersumpah atas nama Allah! sungguh Abu al-Walid telah datang kepada kalian dengan raut muka yang berbeda dengan sewaktu dia pergi tadi”.
Dia pun datang dan duduk bersama mereka. Mereka berkata kepadanya:
“apa yang engkau bawa wahai Abu al-Walîd?”.
“yang aku bawa, bahwa aku telah mendengar suatu perkataan yang -demi Allah- belum pernah sama sekali aku dengar semisalnya. Demi Allah! ia bukanlah syair, bukan sihir dan bukan pula tenung! wahai kaum Quraisy! Patuhilah aku, serahkan urusan itu kepadaku serta biarkanlah orang ini melakukan apa yang dia lakukan. Menjauhlah dari urusannya! Demi Allah! sungguh ucapannya yang telah aku dengar itu akan menjadi berita besar; jika orang-orang Arab dapat mengalahkannya maka kalian telah terlebih dahulu membereskannya tanpa campur tangan orang lain; dan jika dia mengalahkan mereka maka kerajaannya adalah kerajaan kalian juga, keagungannya adalah keagungan kalian juga; maka dengan begitu kalian akan menjadi orang yang paling bahagia”.
Mereka berkata: “demi Allah! dia telah menyihirmu dengan lisannya, wahai Abu al-Walîd”.
“inilah pendapatku terhadapnya, terserah apa yang ingin kalian lakukan”, jawabnya.
Dalam versi riwayat yang lain bahwa ‘Utbah mendengar dengan khusyu’ hingga bacaan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam sampai kepada firmanNya (surat Fushshilat, ayat 13): “jika mereka berpaling maka katakanlah: ‘aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum ‘Âd dan kaum Tsamûd”. ketika itu, dia berdiri karena terperanjat dan cepat-cepat menutup mulut Rasulullah dengan tangannya sembari berkata:
“aku minta kepadamu atas nama Allah agar mengingat rahim (hubungan kekeluargaan) diantara kita”.
Hal ini dilakukannya karena takut peringatan tersebut menimpanya. Setelah itu, dia bangkit menemui para shahabatnya dan mengatakan apa yang dia telah katakan (seperti diatas-red).
Para Petinggi Quraisy ingin berunding dengan Rasulullah sementara Abu Jahal ingin menghabisinya
Harapan Quraisy untuk berunding tidak terhenti dengan jawaban dari beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam karena jawaban tersebut tidak secara terus terang menolak atau menerima. Untuk itu, mereka berurun rembug lalu berkumpul di depan ka’bah setelah terbenamnya matahari. Mereka mengirim utusan untuk menemui Rasulullah dan mengajaknya bertemu disana. Tatkala beliau datang ke sana, mereka kembali mengajukan tuntutan yang sama seperti yang diajukan oleh ‘Utbah. Disini beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam menjelaskan bahwa dirinya tidak bisa melakukan hal itu sebab beliau sebagai Rasul, hanyalah menyampaikan risalah Rabbnya; jika mereka menerima maka mereka akan beruntung dunia dan akhirat dan jika tidak, beliau akan bersabar hingga Allah Yang akan memutuskannya.
Mereka meminta beliau untuk membuktikan dengan beberapa tanda, diantaranya; agar beliau memohon kepada Rabbnya membuat gunung-gunung bergeser dari mereka, membentangkan negeri-negeri buat mereka, mengalirkan sungai-sungai serta menghidupkan orang-orang yang telah mati hingga mereka mau mempercayainya. Namun beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam menjawabnya seperti jawaban sebelumnya.
Mereka juga meminta beliau agar memohon kepada Rabbnya untuk mengutus seorang raja yang mereka percayai dan menyediakan taman-taman, harta terpendam serta istana yang terbuat dari emas dan perak untuknya namun beliau tetap menjawab seperti jawaban sebelumnya.
Bahkan mereka meminta beliau agar Rabb mendatangkan azab, yaitu menjatuhkan langit atas mereka menjadi berkeping-keping. Beliau menjawab:
“hal itu semua merupakan kehendak Allah; jika Dia berkehendak maka Dia akan menjatuhkannya”.
Menanggapi jawaban itu mereka malah menantang dan mengancam beliau. Akhirnya beliau pulang dengan hati yang teriris sedih.
Tatkala Rasulullah berlalu, Abu Jahal dengan sombongnya berkata kepada kaum Quraisy: “wahai kaum Quraisy! Sesungguhnya Muhammad sebagaimana yang telah kalian saksikan, hanya ingin mencela agama dan nenek moyang kita, membuyarkan angan-angan serta mencaci tuhan-tuhan kita. Sungguh aku berjanji atas nama Allah untuk duduk didekatnya dengan membawa batu besar yang mampu aku angkat dan akan aku hempaskan ke kepalanya saat dia sedang sujud dalam shalatnya. Maka saat itu, kalian hanya memiliki dua pilihan; membiarkanku atau mencegahku. Dan setelah hal itu terjadi, maka Banu ‘Abdi Muththalib bisa berbuat apa saja yang mereka mau”.
Mereka menjawab: “demi Allah! kami tidak akan pernah membiarkanmu untuk melakukan sesuatupun. Pergilah kemana yang engkau mau”.
Ketika paginya, Abu Jahal rupanya benar-benar mengambil batu besar sebagaimana yang dia katakan, kemudian duduk sambil menunggu kedatangan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Rasulullah pun datang dan melakukan seperti yang biasa beliau lakukan. Beliau berdiri lalu melakukan shalat sedangkan kaum Quraisy juga sudah datang dan duduk di perkumpulan mereka sembari menunggu apa yang akan dilakukan oleh Abu Jahal. Manakala Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam sedang sujud, Abu Jahal pun mengangkat batu tersebut kemudian berjalan menuju ke arah beliau hingga jaraknya sangat dekat sekali akan tetapi anehnya dia justru berbalik mundur, merasa ciut, wajahnya pasi dan dirundung ketakutan. Kedua tangannya sudah tidak mampu lagi menahan beratnya batu hingga dia melemparnya. Menyaksikan kejadian itu, para pemuka Quraisy segera menyongsongnya sembari bertanya:
“ada apa denganmu wahai Abu al-Hakam?”.
“aku sudah berdiri menuju ke arahnya untuk melakukan apa yang telah kukatakan semalam, namun ketika aku mendekatinya seakan ada onta jantan yang menghalangiku. Demi Allah! aku tidak pernah sama sekali melihat sesuatu yang menakutkan seperti rupanya, juga seperti punuk ataupun taringnya. Binatang itu ingin memangsaku”, Katanya.
Ibnu Ishaq berkata: “disebutkan kepadaku bahwa Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: ‘itu adalah Jibril 'alaihissalaam; andai dia (Abu Jahal-red) mendekat pasti akan disambarnya”.
Negosiasi dan Kompromi
Manakala kaum Quraisy gagal berunding dengan cara merayu, mengiming-iming serta mengultimatum, demikian juga, Abu Jahal gagal melampiaskan kedunguan dan niat jahatnya untuk menghabisi beliau; mereka seakan tersadar untuk merealisasikan keinginan lainnya dengan cara mencapai jalan tengah yang kiranya dapat menyelamatkan mereka. Mereka sebenarnya, tidak menyatakan secara tegas bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam berjalan diatas kebathilan akan tetapi kondisi mereka hanyalah –sebagaimana disifatkan dalam firmanNya- “sesungguhnya mereka (orang-orang kafir) dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap al-Qur’an” (Q.S.11/Hûd: 110). Karenanya mereka melihat perlunya mengupayakan negosiasi dengan beliau dalam masalah agama. Di pertengahan jalan, mereka bertemu dengan beliau dengan menyatakan bahwa mereka akan meninggalkan sebagian urusan agama yang pernah mereka lakukan, lalu mereka juga menuntut Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam melakukan hal yang sama. Mereka mengira bahwa dengan cara kali ini mereka akan melakukan hal yang benar, jika memang apa yang diajak oleh Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam itu adalah benar.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dengan sanadnya, dia berkata: “al-Aswad bin al-Muththalib bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza, al-Walîd bin al-Mughîrah, Umayyah bin Khalaf serta al-‘Âsh bin Wâil as-Sahmiy (mereka ini merupakan orang-orang berpengaruh di tengah kaum mereka) menghadang Rasulullah yang tengah melakukan thawaf di Ka’bah sembari berkata: “wahai Muhammad! mari kami menyembah apa yang engkau sembah dan engkau juga menyembah apa yang kami sembah sehingga kami dan engkau dapat berkongsi dalam menjalankan urusan ini; jika yang engkau sembah itu lebih baik dari apa yang kami sembah, maka berarti kami telah mengambil bagian kami darinya, demikian pula jika apa yang kami sembah lebih baik dari apa yang engkau sembah, maka berarti engkau telah mendapatkan bagianmu darinya”. Lalu Allah menurunkan tentang mereka surat al-Kâfirûn semuanya.
‘Abd bin Humaid dan selainnya dari Ibnu ‘Abbâs bahwasanya orang-orang Quraisy berkata: ”andaikata engkau usap tuhan-tuhan kami, niscaya kami akan menyembah tuhanmu”. Lalu turunlah surat al-Kâfirûn semuanya.
Ibnu Jarîr dan selainnya mengeluarkan darinya juga (Ibnu ‘Abbâs-red) bahwasanya orang-orang Quraisy berkata kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam : “engkau menyembah tuhan kami selama setahun dan kami menyembah tuhanmu selama setahun juga”. Lalu Allah Ta’ala menurunkan firmanNya: “Katakanlah: ‘maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?’ “. (Q.S.39/az-Zumar: 64)
Manakala Allah Ta’ala telah memberikan putusan final terhadap perundingan yang menggelikan tersebut dengan pembandingan yang tegas, orang-orang Quraisy tidak berputus asa dan berhenti hingga disitu bahkan semakin mengendurkan daya kompromi mereka asalkan Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam mau mengadakan beberapa evaluasi terhadap petunjuk-petunjuk yang dibawanya dari Allah, mereka berkata (dalam firmanNya) : “datangkanlah al-Qur’an yang lain dari ini atau gantilah dia”. (Q.S.10/Yunus: 15). Lantas Allah Ta’ala juga memotong cara seperti ini dengan menurunkan ayat berikutnya sebagai bantahan Nabi terhadap mereka, beliau berkata (dalam firmanNya): ”katakanlah: ‘tidaklah tidak patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)”. (Q.S.10/Yunus: 15).
Allah Ta’ala juga mengingatkan akan besarnya bahaya melakukan hal tersebut, dengan firmanNya: “Dan sesungguhnya mereka hampir mamalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia.[73]. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka.[74]. kalau terjadi demikian, benar-benarlah, Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami[75]”. (Q.S. 17/al-Isra’: 73-75).
Kaum Quraisy bingung dan berpikir keras serta upaya mereka menghubungi orang-orang Yahudi
Setelah semua perundingan, negosiasi dan kompromi yang diajukan oleh kaum Musyrikun mengalami kegagalan, jalan-jalan yang ada dihadapan mereka seakan gelap gulita. Mereka bingung apa yang harus dilakukan hingga salah seorang dari syaithan mereka berdiri tegak, yaitu an-Nadlar bin al-Hârits sembari menasehati mereka: “wahai kaum Quraisy! Demi Allah! sungguh urusan yang kalian hadapi saat ini tidak ada lagi jalan keluarnya. Ketika masih kecilnya, Muhammad adalah orang yang paling kalian ridlai, paling kalian benarkan ucapannya, paling kalian agungkan amanatnya hingga akhirnya sekarang kalian melihat uban tumbuh di kedua alisnya dan membawa apa yang dibawanya kepada kalian. Kalian pernah mengatakan bahwa dia adalah tukang sihir. Demi Allah! “Dia bukanlah seorang Tukang sihir. Kita telah melihat para tukang sihir dan jenis-jenis sihir mereka sedangkan yang dikatakannya bukanlah jenis nafts (hembusan) ataupun ‘uqad (buhul-buhul) mereka. Lalu kalian katakan dia adalah seorang dukun. Demi Allah! dia bukanlah seorang dukun. Kita telah melihat bagaimana kondisi para dukun sedangkan yang dikatakannya bukan seperti komat-kamit ataupun sajak (mantera-mantera) para dukun. Lalu kalian katakan lagi bahwa dia adalah seorang penyair. Demi Allah! “Dia bukan seorang Penya’ir. Kita telah mengenal semua bentuk sya’ir; rajaz, hazaj, qaridh, maqbudh dan mabsuth-nya sedangkan yang dikatakannya bukanlah sya’ir. Lalu kalian katakan bahwa dia adalah seorang yang gila. Demi Allah! dia bukan seorang yang gila. Kita telah mengetahui esensi gila dan telah mengenalnya sedangkan yang dikatakannya bukan dalam kategori ketercekikan, kerasukan ataupun was-was sebagaimana kondisi kegilaan tersebut. wahai kaum Quraisy! Perhatikanlah urusan kalian, demi Allah! sesungguhnya kalian telah menghadapi masalah yang besar”.
Ketika itulah kaum Quraisy memutuskan untuk menghubungi orang-orang Yahudi sambil memastikan kelanjutan dari perihal Muhammad Shallallâhu 'alaihi wasallam. Maka mereka tunjuklah an-Nadlar bin al-Hârits untuk pergi menemui orang-orang Yahudi di Madinah bersama dua orang lainnya. Ketika mereka tiba di tempat mereka, para pemuka agama Yahudi (Ahbâr) berkata kepada mereka:
“Tanyakan kepadanya (Muhammad-red) tiga hal, jika dia memberitahukannya maka dialah Nabi yang diutus itu, dan jika tidak maka dia hanyalah orang yang ngelantur bicaranya. Yaitu, tanyakan kepadanya tentang sekolompok pemuda yang sudah meninggal pada masa lampau pertama, bagaimana kisah mereka? Karena sesungguhnya cerita tentang mereka amatlah mengagumkan. Juga tanyakan kepadanya tentang seorang laki-laki pengelana yang menjelajahi dunia hingga ke belahan timur bumi dan belahan baratnya, bagaimana kisahnya?. Terakhir, tanyakan kepadanya tentang apa itu ruh?”.
Setibanya di Mekkah, an-Nadlar bin al-Hârits berkata: “kami datang kepada kalian berkat apa yang terjadi antara kami dan Muhammad”. Lalu dia memberitahukan mereka perihal apa yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi. Setelah itu, orang-orang Quraisy bertanya kepada Rasulullah tentang tiga hal tersebut, maka setelah beberapa hari turunlah surat al-Kahfi yang didalamnya terdapat kisah sekelompok pemuda tersebut, yakni Ashhâbul Kahfi dan kisah seorang laki-laki pengelana, yakni Dzul Qarnain. Demikian pula, turunlah jawaban tentang ruh dalam surat al-Isra’. Ketika itu, jelaslah bagi kaum Quraisy bahwa beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam berada dalam kebenaran namun orang-orang yang zhalim tidak berkenan selain terhadap kekufuran.
Sikap Abu Thalib dan Keluarganya
Demikianlah tindakan kaum Musyrikun secara umum, sedangkan Abu Thalib secara khusus menghadapi tuntutan kaum Quraisy agar menyerahkan Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam kepada mereka untuk dibunuh. Abu Thalib mengamati gerak-gerik dan kasak-kusuk mereka dan mencium keinginan kuat mereka untuk benar-benar menghabisi beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam sebagaimana yang dilakukan oleh ‘Uqbah bin Abi Mu’ith, ‘Umar bin al-Khaththab (sebelum Islam-red) dan Abu Jahal. Akhirnya, dia mengumpulkan seluruh keluarga Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib dan menghimbau mereka agar menjaga Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam. Mereka semua memenuhi imbauan itu, baik yang sudah masuk Islam maupun yang masih kafir sebagai bentuk fanatisme Arab. Mereka berikrar dan mengikat janji di Ka’bah selain saudaranya, Abu Lahab yang memilih untuk menentang mereka dan berada di pihak kaum Quraisy.
Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum
Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury
List Posting Sirah Nabawiyah :
- Posisi Bangsa Arab Dan Kaumnya
- Kekuasaan dan Imarah Di Kalangan Bangsa Arab
- Agama Bangsa Arab
- Gambaran Masyarakat Arab Jahiliyah
- Nasab dan Keluarga Besar Nabi
- Milad dan Empat Puluh Tahun Sebelum Kenabian
- Periode Mekkah
- Tahapan Pertama Berjihad Melalui Dakwah Kepada Allah
- Berdakwah Secara Terang-Terangan (Dakwah Jahriyyah)
- Pemboikotan Menyeluruh
- Delegasi Terakhir Quraisy Yang Mengunjungi Abu Thalib
- Kematian Abu Thalib
- Faktor Kesabaran dan Ketegaran Kaum Muslimin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar