Tahapan Dakwah Sirriyyah selama tiga tahun
Seperti yang sudah diketahui bahwa kota Mekkah merupakan pusat agama bagi
bangsa Arab. Disana terdapat para pengabdi ka'bah dan tiang sandaran bagi berhala
dan patung-patung yang dianggap suci oleh seluruh bangsa Arab. Untuk mencapai
sasaran perbaikan yang memadai terhadap kondisi yang ada nampaknya akan
bertambah sulit dan keras jika jauh dari jangkauan kondisionalnya. Karenanya,
kondisi tersebut membutuhkan tekad baja yang tak mudah tergoyahkan oleh
beruntunnya musibah dan bencana yang menimpa; maka adalah bijaksana dalam
menghadapi hal itu, memulai dakwah secara sirri (sembunyi-sembunyi) agar
penduduk Mekkah tidak dikagetkan dengan hal yang (bisa saja) memancing emosi
mereka.
Gelombang Pertama
Sudah merupakan sesuatu yang lumrah bila yang pertama-tama dilakukan oleh
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam adalah menawarkan Islam kepada
orang-orang yang dekat hubungannya dengan beliau, keluarga besar serta
shahabat-shahabat karib beliau; mereka semua didakwahi oleh beliau untuk
memeluk Islam. Beliau juga tak lupa mendakwahi orang yang sudah saling mengenal
dengan beliau dan memiliki sifat baik dan suka berbuat baik, mereka yang beliau
kenal sebagai orang-orang yang mencintai Allah al-Haq dan kebaikan atau mereka
yang mengenal beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam sebagai sosok yang selalu
menjunjung tinggi nilai kejujuran dan keshalihan. Hasilnya, banyak diantara
mereka –yang tidak sedikitpun digerayangi oleh keraguan terhadap keagungan,
kebesaran jiwa Rasulullah serta kebenaran berita yang dibawanya- merespons
dengan baik dakwah beliau. Mereka ini dalam sejarah Islam dikenal sebagai
as-Saabiquun al-Awwalluun (orang-orang yang paling dahulu dan pertama masuk
Islam).
Di barisan depan mereka terdaftar isteri Nabi Shallallâhu 'alaihi
wasallam, Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid, maula (budak) beliau, Zaid
bin Haritsah bin Syarahil al-Kalbi, keponakan beliau; 'Ali bin Abi Thalib –yang ketika itu masih anak-anak dan hidup dibawah tanggungan beliau– serta
shahabat paling dekat beliau, Abu Bakr ash-Shiddiq. Mereka semua memeluk Islam
pada permulaan dakwah.
Kemudian, Abu Bakr bergiat dalam mendakwahi Islam. Dia adalah sosok laki-laki
yang lembut, disenangi, fleksibel dan berbudi baik. Para tokoh kaumnya selalu
mengunjunginya dan sudah tidak asing dengan kepribadiannya karena keintelekan,
kesuksesan dalam berbisnis dan pergaulannya yang luwes. Dia terus berdakwah
kepada orang-orang dari kaumnya yang dia percayai dan selalu berinteraksi dan
bermajlis dengannya. Berkat hal itu, maka masuk Islam lah 'Utsman bin 'Affana
al-Umawi, az-Zubair bin al-'Awam al-Asadi, 'Abdurrahman bin 'Auf, Sa'd bin Abi
Waqqash az-Zuhriyan dan Thalhah bin 'Ubaidillah at-Timi. Kedelapan orang inilah
yang terlebih dahulu masuk Islam dan merupakan gelombang pertama dan palang
pintu Islam.
Diantara orang-orang pertama lainnya yang masuk Islam adalah Bilal bin Rabah
al-Habasyi, kemudian diikuti oleh Amin (Kepercayaan) umat ini, Abu 'Ubaidah;
'Amir bin al-Jarrah yang berasal dari suku Bani al-Harits bin Fihr, Abu Salamah
bin 'Abdul Asad, al-Arqam bin Abil Arqam (keduanya berasal dari suku Makhzum),
'Utsman bin Mazh'un - dan kedua saudaranya; Qudamah dan 'Abdullah -, 'Ubaidah
bin al-Harits bin al-Muththalib bin 'Abdu Manaf, Sa'id bin Zaid al-'Adawy dan
isterinya; Fathimah binti al-Khaththab al-'Adawiyyah -saudara perempuan dari
'Umar bin al-Khaththab-, Khabbab bin al-Arts, 'Abdullah bin Mas'ud al-Hazaly
serta banyak lagi selain mereka. Mereka itulah yang dinamakan as-Saabiquunal
Awwaluun. Mereka terdiri dari semua suku Quraisy yang ada bahkan Ibnu Hisyam
menjumlahkannya lebih dari 40 orang. Namun, dalam penyebutan sebagian dari
nama-nama tersebut masih perlu diberikan catatan.
Ibnu Ishaq berkata: "…kemudian banyak orang yang masuk Islam secara
berbondong-bondong baik laki-laki maupun wanita sampai akhirnya tersiarlah
gaung "Islam" di seantero Mekkah dan mulai banyak menjadi bahan
perbincangan orang.
Mereka semua masuk Islam secara sembunyi-sembunyi. Maka cara yang sama pun
dilaklukan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dalam pertemuan beliau
dengan pengarahan agama yang diberikan karena dakwah ketika itu masih bersifat
individu dan sembunyi-sembunyi. Wahyu turun secara berkesinambungan dan
memuncak setelah turunnya permulaan surat al-Muddatstsir. Ayat-ayat dan
penggalan-penggalan surat yang turun pada masa ini merupakan ayat-ayat pendek;
memiliki pemisah-pemisah yang indah dan valid, senandung yang menyejukkan dan
memikat seiring dengan suasana suhu domestik yang begitu lembut dan halus.
Ayat-ayat tersebut membicarakan solusi memperbaiki penyucian diri (tazkiyatun
nufuus), mencela pengotorannya dengan gemerlap duniawi dan menyifati surga dan
neraka yang seakan-akan terlihat oleh mata kepala sendiri. Juga, menggiring
kaum Mukminin ke dalam suasana yang lain dari kondisi komunitas sosial kala
itu.
Perintah Shalat
Termasuk wahyu pertama yang turun adalah perintah mendirikan shalat. Ibnu Hajar
berkata: "sebelum terjadinya Isra', beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam
secara qath'i pernah melakukan shalat, demikian pula dengan para shahabat akan
tetapi yang diperselisihkan apakah ada shalat lain yang telah diwajibkan
sebelum (diwajibkannya) shalat lima waktu ataukah tidak?. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa yang telah diwajibkan itu adalah shalat sebelum terbit dan
terbenamnya matahari". Demikian penuturan Ibnu Hajar.
Al-Harits bin Usamah meriwayatkan dari jalur Ibnu Lahi'ah secara maushul (disambungkan setelah sanad-sanadnya mu'allaq [terputus di bagian tertentu])
dari Zaid bin Haritsah bahwasanya pada awal datangnya wahyu, Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam didatangi oleh malaikat Jibril; dia mengajarkan
beliau tata cara berwudhu.
Maka tatkala selesai melakukannya, beliau mengambil
seciduk air lantas memercikkannya ke faraj beliau. Ibnu Majah juga telah
meriwayatkan hadits yang semakna dengan itu, demikian pula riwayat semisalnya
dari al-Bara' bin 'Azib dan Ibnu 'Abbas serta hadits Ibnu 'Abbas sendiri. Hal
tersebut merupakan kewajiban pertama.
Ibnu Hisyam menyebutkan bahwa bila waktu shalat telah masuk, Nabi Shallallâhu
'alaihi wasallam dan para shahabat pergi ke perbukitan dan menjalankan shalat
disana secara sembunyi-sembunyi jauh dari kaum mereka. Abu Thalib pernah sekali
waktu melihat Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam dan 'Ali melakukan shalat,
lantas menegur keduanya namun manakala dia mengetahui bahwa hal tersebut adalah
sesuatu yang serius, dia memerintahkan keduanya untuk berketetapan hati
(tsabat).
Kaum Quraisy mendengar perihal dakwah secara global
Meskipun dakwah pada tahapan ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan
bersifat individu, namun perihal beritanya sampai juga ke telinga kaum Quraisy.
Hanya saja, mereka belum mempermasalahkannya karena Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam tidak pernah menyinggung agama mereka ataupun tuhan-tuhan mereka.
Tiga tahunpun berlalu sementara dakwah masih berjalan secara sembunyi-sembunyi
dan individu; dalam tempo waktu ini terbentuklah suatu jamaah Mukminin yang
dibangun atas pondasi ukhuwwah (persaudaraan) dan ta'awun (solidaritas) serta
penyampaian risalah dan proses reposisinya. Kemudian turunlah wahyu yang
membebankan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam agar menyampaikan dakwah
kepada kaumnya secara terang-terangan; menentang kebatilan mereka serta
menyerang berhala-berhala mereka.
Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum
List Posting Sirah Nabawiyah :
Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum
Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury
List Posting Sirah Nabawiyah :
- Posisi Bangsa Arab Dan Kaumnya
- Kekuasaan dan Imarah Di Kalangan Bangsa Arab
- Agama Bangsa Arab
- Gambaran Masyarakat Arab Jahiliyah
- Nasab dan Keluarga Besar Nabi
- Milad dan Empat Puluh Tahun Sebelum Kenabian
- Periode Mekkah
- Tahapan Pertama Berjihad Melalui Dakwah Kepada Allah
- Berdakwah Secara Terang-Terangan (Dakwah Jahriyyah)
- Pemboikotan Menyeluruh
- Delegasi Terakhir Quraisy Yang Mengunjungi Abu Thalib
- Kematian Abu Thalib
- Faktor Kesabaran dan Ketegaran Kaum Muslimin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar