NASAB DAN KELUARGA BESAR NABI
Nasab Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam terbagi ke dalam tiga klasifikasi:
1. Urutan nasab beliau hingga kepada Adnan.
Nasabnya adalah : Muhammad bin 'Abdullah bin 'Abdul Muththalib (nama aslinya; Syaibah) bin Hasyim (nama aslinya: 'Amru) bin 'Abdu Manaf (nama aslinya: al-Mughirah) bin Qushai (nama aslinya: Zaid) bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luai bin Ghalib bin Fihr (julukannya: Quraisy yang kemudian suku ini dinisbatkan kepadanya) bin Malik bin an-Nadhar (nama aslinya: Qais) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah (nama aslinya: 'Amir) bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'add bin Adnan.
2. Urutan nasab beliau dari atas Adnan
hingga Ibrahim 'alaihissalam.
Nasab ini masih diperselisihkan, antara yang mengambil sikap diam dan tidak berkomentar dengan yang mengatakan sesuatu tentangnya, nasabnya yaitu :
(dari urutan nasab diatas hingga ke atas Adnan) yaitu, Adnan bin Adad bin Humaisa' bin Salaaman bin 'Iwadh bin Buuz bin Qimwaal bin Abi 'Awwam bin Naasyid bin Hiza bin Buldaas bin Yadlaaf bin Thaabikh bin Jaahim bin Naahisy bin Maakhi b in 'Iidh bin 'Abqar bin 'Ubaid bin ad-Di'aa bin Hamdaan bin Sunbur bin Yatsribi bin Yahzan bin Yalhan bin Ar'awi bin 'Iidh bin Diisyaan bin 'Aishar bin Afnaad bin Ayhaam bin Miqshar bin Naahits bin Zaarih bin Sumay bin Mizzi bin 'Uudhah bin 'Uraam bin Qaidaar bin Isma'il bin Ibrahim 'alaihimassalam.
3. Urutan nasab beliau mulai
dari atas Ibrahim hingga Nabi Adam 'alaihissalam.
Nasab ini, tidak diragukan lagi bahwa didalamnya terdapat riwayat yang tidak shahih.
(dari urutan nasab kedua klasifikasi diatas hingga
keatas Nabi Ibrahim) yaitu, Ibrahim 'alaihissalam bin Taarih (namanya: Aazar)
bin Naahuur bin Saaruu' atau Saaruugh bin Raa'uw bin Faalikh bin 'Aabir bin
Syaalikh bin Arfakhsyad bin Saam bin Nuh 'alaihissalam bin Laamik bin
Mutwisylakh bin Akhnukh (ada yang mengatakan bahwa dia adalah Nabi Idris
'alaihissalam) bin Yarid bin Mahlaaiil bin Qainaan bin Aanuusyah bin Syits bin
Adam 'alaihissalam.
Keluarga besar Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
Al-Usrah an-Nabawiyyah (Keluarga Besar Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam) lebih
dikenal dengan sebutan al-Usrah al-Hasyimiyyah (dinisbatkan kepada kakek
beliau, Hasyim bin 'Abdu Manaf), oleh karenanya kita sedikit akan menyinggung
tentang kondisi Hasyim ini dan orang-orang setelahnya dari keluarga besar
beliau Shallallahu 'alaihi wasallam :
Hasyim : Sebagaimana telah kita singgung bahwa Hasyim adalah orang yang
bertindak sebagai penanggung jawab atas penanganan air (as-Siqayah) dan penyediaan
makanan (ar-Rifadah) terhadap Baitullah dari keluarga Bani 'Abdi Manaf ketika
terjadi perundingan antara Banu 'Abdi Manaf dan Banu 'Abdid Daar dalam masalah
pembagian kekuasaan antar kedua belah fihak. Hasyim dikenal sebagai orang yang
hidup dalam kondisi yang baik dan memiliki martabat tinggi. Dia lah orang
pertama yang menyediakan makanan berbentuk ats-Tsarid (semacam roti yang
diremuk dan direndam dalam kuah) kepada jama'ah-jama'ah haji di Mekkah. Nama
aslinya adalah 'Amru, adapun kenapa dia dinamakan Hasyim, hal ini dikarenakan
pekerjaannya yang meremuk-remukan roti (sesuai dengan arti kata Hasyim dalam
Bahasa Arabnya-red). Dia juga lah orang pertama yang mencanangkan program dua
kali rihlah (bepergian) bagi kaum Quraisy, yaitu: Rihlatus Syitaa' ; bepergian
di musim dingin dan Rihlatush Shaif; bepergian di musim panas (sebagaimana
dalam surat Quraisy ayat 2 -red). Berkenaan dengan hal ini, seorang penyair
bersenandung:
'Amru lah orang yang menghidangkan at-Tsarid kepada kaumnya
Kaum yang ditimpa kurang hujan dan paceklik
Dia lah yang mencanangkan bagi mereka dua rihlah musiman
Rihlah/bepergian di musim dingin dan di musim panas
Diantara kisah tentang dirinya; suatu hari dia pergi ke kota Syam untuk
berdagang, namun ketika sampai di Madinah dia menikah dahulu dengan Salma binti
'Amru, salah seorang puteri 'Uday bin an-Najjar. Dia tinggal bersama isterinya
untuk beberapa waktu kemudian berangkat ke kota Syam (ketika itu isterinya
ditinggalkan bersama keluarganya dan sedang mengandung bayinya yang kemudian
dinamai dengan 'Abdul Muththalib). Hasyim akhirnya meninggal di kota Ghazzah
(Ghaza) di tanah Palestina. Isterinya, Salma melahirkan puteranya, 'Abdul
Muththalib pada tahun 497 M. Ibunya menamakannya dengan Syaibah karena
tumbuhnya uban (yang dalam Bahasa 'Arabnya adalah "syaibah"- red) di
kepalanya. Dia mendidik anaknya di rumah ayahnya (Hasyim-red) di Yatsrib (Madinah) sedangkan keluarganya yang di Mekkah tidak seorang pun diantara mereka yang
tahu tentang dirinya. Hasyim mempunyai empat orang putera dan lima orang
puteri. Keempat puteranya tersebut adalah: Asad, Abu Shaifi, Nadhlah dan 'Abdul
Muththalib. Sedangkan kelima puterinya adalah: asy-Syifa', Khalidah, Dha'ifah,
Ruqayyah dan Jannah.
'Abdul Muththalib : dari pembahasan yang telah lalu kita telah mengetahui bahwa
tanggung jawab atas penanganan as-Siqayah dan ar-Rifadah setelah Hasyim
diserahkan kepada saudaranya, al-Muththalib bin 'Abdu Manaf. {Dia adalah orang
yang ditokohkan, disegani dan memiliki kharisma di kalangan kaumnya.
Orang-orang Quraisy menjulukinya dengan al-Fayyadh karena kedermawanannya
(sebab al-Fayyadh artinya dalam Bahasa Arab adalah yang murah hati)}.
Ketika Syaibah ('Abdul Muththalib) menginjak remaja sekitar usia 7 tahun atau 8
tahun lebih, al-Muththalib, kakeknya mendengar berita tentang dirinya lantas
dia pergi mencarinya. Ketika bertemu dan melihatnya, berlinanglah air matanya,
lalu direngkuhnya erat-erat dan dinaikkannya ke atas tunggangannya dan
memboncengnya namun cucunya ini menolak hingga diizinkan dahulu oleh ibunya. Kakeknya,
al-Muththalib kemudian meminta persetujuan ibunya agar mengizinkannya membawa
serta cucunya tersebut tetapi dia (ibunya) menolak permintaan tersebut.
Al-Muththalib lantas bertutur: "sesungguhnya dia (cucunya, 'Abdul
Muththalib) akan ikut bersamanya menuju kekuasaan yang diwarisi oleh ayahnya
(Hasyim-red), menuju Tanah Haram Allah". Barulah kemudian ibunya
mengizinkan anaknya dibawa. Abdul Muththalib dibonceng oleh kakeknya,
al-Muththalib dengan menunggangi keledai miliknya. Orang-orang berteriak: "inilah
'Abdul Muththalib!". Kakeknya, al-Muththalib memotong teriakan tersebut
sembari berkata: "celakalah kalian! Dia ini adalah anak saudaraku
(keponakanku), Hasyim". 'Abdul Muththalib akhirnya tinggal bersamanya
hingga tumbuh dan menginjak dewasa. Al-Muthtthalib meninggal di Rodman, di
tanah Yaman dan kekuasaannya kemudian digantikan oleh cucunya, 'Abdul
Muththalib. Dia menggariskan kebijakan terhadap kaumnya persis seperti
nenek-nenek moyang dulu akan tetapi dia berhasil melampaui mereka; dia mendapatkan
kedudukan dan martabat di hati kaumnya yang belum pernah dicapai oleh
nenek-nenek moyangnya terdahulu; dia dicintai oleh mereka sehingga kharisma dan
wibawanya di hati mereka semakin besar.
Ketika al-Muththalib meninggal dunia, Naufal (paman 'Abdul Muththalib)
menyerobot kekuasaan keponakannya tersebut. Tindakan ini menimbulkan amarahnya
yang serta merta meminta pertolongan para pemuka Quraisy untuk membantunya
melawan sang paman. Namun mereka menolak sembari berkata: "kami tidak akan
mencampuri urusanmu dengan pamanmu itu". Akhirnya dia menyurati
paman-pamannya dari pihak ibunya, Bani an-Najjar dengan rangkaian bait-bait
sya'ir yang berisi ungkapan memohon bantuan mereka. Pamannya, Abu Sa'd bin
'Uday bersama delapan puluh orang kemudian berangkat menuju ke arahnya dengan
menunggang kuda. Sesampai mereka di al-Abthah, sebuah tempat di Mekkah dia
disambut oleh 'Abdul Muththalib yang langsung bertutur kepadanya:
"silahkan mampir ke rumah, wahai paman!". Pamannya menjawab:
"demi Allah, aku tidak akan (mampir ke rumahmu-red) hingga bertemu dengan
Naufal", lantas dia mendatanginya dan mencegatnya yang ketika itu sedang
duduk-duduk di dekat al-Hijr (Hijr Isma'il) bersama para sesepuh Quraisy. Abu
Sa'd langsung mencabut pedangnya seraya mengancam: "Demi Pemilik rumah ini
(Ka'bah)! Jika tidak engkau kembalikan kekuasaan anak saudara perempuanku
(keponakanku) maka aku akan memenggalmu dengan pedang ini". Naufal
berkata: "sudah aku kembalikan kepadanya!". Ucapannya ini disaksikan
oleh para sesepuh Quraisy tersebut. Kemudian barulah dia mampir ke rumah 'Abdul
Muththalib dan tinggal di sana selama tiga hari. Selama disana, dia melakukan
umrah (ala kaum Quraisy dahulu sebelum kedatangan Islam) kemudian pulang ke
Madinah. Menyikapi kejadian yang dialaminya tersebut, Naufal akhirnya bersekutu
dengan Bani 'Abdi Syams bin 'Abdi Manaf untuk menandingi Bani Hasyim. Suku
Khuza'ah tergerak juga untuk menolong 'Abdul Muththalib setelah melihat
pertolongan yang diberikan oleh Bani an-Najjar terhadapnya. Mereka berkata
(kepada Bani an-Najjar):"kami juga melahirkannya ('Abdul Muththalib juga
merupakan anak/turunan kami) seperti kalian, namun kami justru lebih berhak
untuk menolongnya". Hal ini lantaran ibu dari 'Abdi Manaf adalah keturunan
mereka. Mereka memasuki Darun Nadwah dan bersekutu dengan Bani Hasyim untuk
melawan Bani 'Abdi Syams dan Naufal. Persekutuan inilah yang kemudian menjadi
sebab penaklukan Mekkah sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.
Ada dua momentum besar yang terjadi atas Baitullah di masa 'Abdul Muththalib, yakni :
1. Penggalian sumur Zam-zam
'Abdul Muththalib bermimpi dirinya diperintahkan
untuk menggali Zam-zam dan dijelaskan kepadanya dimana letaknya, lantas dia
melakukan penggalian (sesuai dengan petunjuk mimpi tersebut-red) dan menemukan
didalamnya benda-benda terpendam yang dulu dikubur oleh suku Jurhum ketika
mereka akan keluar meninggalkan Mekkah; yaitu berupa pedang-pedang,
tameng-tameng besi (baju besi) dan dua pangkal pelana yang terbuat dari emas.
Pedang-pedang kemudian dia jadikan sebagai pintu Ka'bah, sedangkan dua pangkal
pelana tersebut dia jadikan sebagai lempengan-lempengan emas dan ditempelkan di
pintu tersebut. Dia juga menyediakan tempat untuk pelayanan air Zam-zam bagi para
jama'ah haji.
Ketika sumur Zam-zam berhasil digali, orang-orang Quraisy mempermasalahkannya.
Mereka berkata kepadanya: "ikutsertakan kami!". Dia menjawab:
"aku tidak akan melakukannya sebab ini merupakan proyek yang sudah aku
tangani secara khusus". Mereka tidak tinggal diam begitu saja tetapi
menyeretnya ke pengadilan seorang dukun wanita dari Bani Sa'd, di pinggiran
kota Syam. Dalam perjalanan mereka, bekal air pun habis lalu Allah
turunkan hujan ke atas 'Abdul Muththalib tetapi tidak setetespun tercurah ke
atas mereka. Mereka akhirnya tahu bahwa urusan Zam-zam telah dikhususkan kepada
'Abdul Muththalib dan pulang ke tempat mereka masing-masing. Saat itulah 'Abdul
Muththalib bernazar bahwa jika dikaruniai sepuluh orang anak dan mereka sudah
mencapai usia baligh, meskipun mereka mencegahnya guna mengurungkan niatnya
untuk menyembelih salah seorang dari mereka disisi Ka'bah maka dia tetap akan
melakukannya.
2. Datangnya pasukan gajah
Abrahah ash-Shabbah al-Habasyi, penguasa bawahan
an-Najasyi di negeri Yaman ketika melihat orang-orang Arab melakukan haji ke
Ka'bah, dia juga membangun gereja yang amat megah di kota Shan'a'. Tujuannya
adalah agar orang-orang Arab mengalihkan haji mereka ke sana. Niat jelek ini
didengar oleh seorang yang berasal dari Bani Kinanah. Dia secara diam-diam
mengendap-endap menerobos malam memasuki gereja tersebut, lalu dia lumuri
kiblat mereka tersebut dengan kotoran. Tatkala mengetahui perbuatan ini
meledaklah amarah Abrahah dan sertamerta dia mengerahkan pasukan besar yang kuat
(berkekuatan 60.000 personil) ke Ka'bah untuk meluluhlantakkannya. Dia juga
memilih gajah paling besar sebagai tunggangannya. Dalam pasukan tersebut
terdapat sembilan ekor gajah atau tiga ekor. Dia meneruskan perjalanannya
hingga sampai di al-Maghmas dan disini dia memobilisasi pasukannya, menyiagakan
gajahnya dan bersiap-siap melakukan invasi ke kota Mekkah. Akan tetapi baru
saja mereka sampai di Wadi Mahsar (Lembah Mahsar) yang terletak antara
Muzdalifah dan Mina, tiba-tiba gajahnya berhenti dan duduk. Gajah ini tidak mau
lagi berjalan menuju Ka'bah dan ogah dikendalikan oleh mereka baik ke arah
selatan, utara atau timur; setiap mereka perintahkan ke arah-arah tersebut,
gajah berdiri dan berlari dan bila mereka arahkan ke Ka'bah, gajah tersebut
duduk.
Manakala mereka mengalami kondisi semacam itu, Allah mengirimkan ke atas
mereka burung-burung yang berbondong-bondong yang melempari mereka dengan batu
(berasal) dari tanah yang terbakar. Lalu Dia Ta'ala menjadikan mereka seperti
daun-daun yang dimakan (ulat). Burung tersebut semisal besi yang
berkeluk/pengait (khathaathiif) dan kacang adas (balsan). Setiap burung
melempar tiga buah batu; sebuah diparuhnya, dan dua buah di kedua kakinya
berbentuk seperti kerikil. Bila lemparan batu tersebut mengenai seseorang maka
anggota-anggota badan orang tersebut akan menjadi berkeping-keping dan hancur.
Tidak semua mereka terkena lemparan tersebut; ada yang dapat keluar melarikan
diri tetapi mereka saling berdesakan satu sama lainnya sehingga banyak yang
jatuh di jalan-jalan lantas mereka binasa terkapar di setiap tempat. Sedangkan
Abrahah sendiri, Allah kirimkan kepadanya satu penyakit yang membuat sendi
jari-jemari tangannya tanggal dan berjatuhan satu per-satu. Sebelum dia
mencapai Shan'a' maka dia tak ubahnya seperti seekor anak burung yang dadanya
terbelah dari hatinya, untuk kemudian dia roboh tak bernyawa.
Adapun kondisi orang-orang Quraisy; mereka berpencar-pencar ke lereng-lereng
gunung dan bertahan di bukit-bukitnya karena merasa ngeri dan takut kejadian
tragis yang menimpa pasukan Abrahah tersebut akan menimpa diri mereka juga.
Manakala pasukan tersebut telah mengalami kejadian tragis dan mematikan
tersebut, mereka turun gunung dan kembali ke rumah masing-masing dengan rasa
penuh aman.
Peristiwa tragis tersebut terjadi pada bulan Muharram, lima puluh hari atau
lima puluh lima hari (menurut pendapat mayoritas) sebelum kelahiran Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam; yaitu bertepatan dengan penghujung bulan Februari
atau permulaan bulan Maret pada tahun 571 M. Peristiwa tersebut ibarat prolog
yang disajikan oleh Allah untuk NabiNya dan BaitNya. Sebab ketika kita
memandang ke Baitul Maqdis, kita melihat bahwa kiblat ini (dulu, sebelum
Ka'bah) telah dikuasai oleh musuh-musuh Allah dari kalangan kaum Musyrikin
dimana ketika itu penduduknya beragama Islam, yakni sebagaimana yang terjadi
dengan tindakan Bukhtanashshar terhadapnya pada tahun 587 SM dan oleh bangsa
Romawi pada tahun 70 M. Sebaliknya Ka'bah tidak pernah dikuasai oleh
orang-orang Nasrani (mereka ketika itu disebut juga sebagai orang-orang
Islam/Muslimun) padahal penduduknya adalah kaum Musyrikin.
Peristiwa tragis tersebut juga terjadi dalam kondisi yang dapat mengekspos
beritanya ke seluruh penjuru dunia yang ketika itu sudah maju; Diantaranya,
Negeri Habasyah yang ketika itu memiliki hubungan yang erat dengan orang-orang
Romawi . Di sisi lain, orang-orang Farsi masih mengintai mereka dan menunggu
apa yang akan terjadi terhadap orang-orang Romawi dan sekutu-sekutunya. Maka,
ketika mendengar peristiwa tragis tersebut, orang-orang Farsi segera berangkat
menuju Yaman. Kedua negeri inilah (Farsi dan Romawi) yang saat itu merupakan
negara maju dan berperadaban (superpower). Peristiwa tersebut juga mengundang
perhatian dunia dan memberikan isyarat kepada mereka akan kemuliaan Baitullah.
Baitullah inilah yang dipilih olehNya untuk dijadikan sebagai tempat suci.
Jadi, bila ada seseorang yang berasal dari tempat ini mengaku sebagai pengemban
risalah kenabian maka hal inilah sesungguhnya yang merupakan kata kunci dari terjadinya
peristiwa tersebut dan penjelasan atas hikmah terselubung di balik pertolongan
Allah terhadap Ahlul Iman (kaum Mukminin) melawan kaum Musyrikin; suatu cara
yang melebihi kejadian Alam yang bernuasa kausalitas ini.
'Abdul Muththalib mempunyai sepuluh orang putera, yaitu: al-Harits, az-Zubair,
Abu Thalib, 'Abdullah, Hamzah, Abu Lahab, al-Ghaidaaq, al-Muqawwim, Shaffar,
al-'Abbas. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa mereka berjumlah sebelas orang,
yaitu ditambah dengan seorang putera lagi yang bernama Qutsam. Ada lagi versi
riwayat yang menyebutkan bahwa mereka berjumlah tiga belas orang ditambah (dari
nama-nama yang sudah ada pada dua versi diatas) dengan dua orang putera lagi
yang bernama 'Abdul Ka'bah dan Hajla. Namun ada riwayat yang menyebutkan bahwa
'Abdul Ka'bah ini tak lain adalah al-Muqawwim diatas sedangkan Hajla adalah
al-Ghaidaaq dan tidak ada diantara putera-puteranya tersebut yang bernama
Qutsam. Adapun puteri-puterinya berjumlah enam orang, yaitu: Ummul Hakim (yakni
al-Baidha'/si putih), Barrah, 'Atikah, Arwa dan Umaimah.
'Abdullah, ayahanda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam : Ibu 'Abdullah
bernama Fathimah binti 'Amru bin 'Aaiz bin 'Imran bin Makhzum bin Yaqzhah bin
Murrah. 'Abdullah ini adalah anak yang paling tampan diantara putera-putera
'Abdul Muththalib, yang paling bersih jiwanya dan paling disayanginya. Dia lah
yang sebenarnya calon kurban yang dipersembahkan oleh 'Abdul Muththalib sesuai
nazarnya diatas. Ceritanya; ketika 'Abdul Muththalib sudah komplit mendapatkan
sepuluh orang putera dan mengetahui bahwa mereka mencegahnya untuk melakukan
niatnya, dia kemudian memberitahu mereka perihal nazar tersebut sehingga mereka
pun menaatinya. Dia menulis nama-nama mereka di anak panah yang akan diundikan
diantara mereka dan dipersembahkan kepada patung Hubal, kemudian undian
tersebut dimulai maka setelah itu keluarlah nama 'Abdullah. 'Abdul Muththalib
membimbingnya sembari membawa pedang dan mengarahkan wajahnya ke Ka'bah untuk
segera disembelih, namun orang-orang Quraisy mencegahnya, terutama
paman-pamannya (dari pihak ibu) dari Bani Makhzum dan saudaranya, Abu Thalib.
Menghadapi sikap tersebut, 'Abdul Muththalib berkata: "lantas, apa yang
harus kuperbuat dengan nazarku?". Mereka menyarankannya agar dia
menghadirkan dukun/peramal wanita dan meminta petunjuknya. Dia kemudian datang
kepadanya dan meminta petunjuknya. Dukun/peramal wanita ini memerintahkannya
untuk menjadikan anak panah undian tersebut diputar antara nama 'Abdullah dan
sepuluh ekor onta; jika yang keluar nama Abdullah maka dia ('Abdul Muththalib)
harus menambah tebusan sepuluh ekor onta lagi, begitu seterusnya hingga
Tuhannya ridha. Dan jika yang keluar atas nama onta maka dia harus
menyembelihnya sebagai kurban. 'Abdul Muththalib pun kemudian pulang ke
rumahnya dan melakukan undian (sebagaimana yang diperintahkan dukun wanita
tersebut) antara nama 'Abdullah dan sepuluh ekor onta, lalu keluarlah yang nama
'Abdullah; bila yang terjadi seperti ini maka dia terus menambah tebusan
atasnya sepuluh ekor onta begitu seterusnya, setiap diundi maka yang keluar
adalah nama 'Abdullah dan diapun terus menambahnya dengan sepuluh ekor onta
hingga onta tersebut sudah berjumlah seratus ekor berulah undian tersebut jatuh
kepada onta-onta tersebut, maka dia kemudian menyembelihnya dan meninggalkannya
begitu saja tanpa ada yang menyentuhnya baik oleh tangan manusia maupun
binatang buas. Dulu diyat (denda) di kalangan orang Quraisy dan Bangsa 'Arab
secara keseluruhan dihargai dengan sepuluh ekor onta, namun sejak peristiwa itu
maka dirubah menjadi seratus ekor onta yang kemudian dilegitimasi oleh Islam.
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda:
"Aku lah anak (cucu) kedua orang yang dipersembahkan sebagai
sembelihan/kurban". Yakni, Nabi Isma'il 'alaihissalam dan ayah beliau
'Abdullah (Ibnu Hisyam;I/151-155, Tarikh ath-Thabari; II/240-243).
'Abdul Muththalib memilihkan buat puteranya, 'Abdullah seorang gadis bernama
Aminah binti Wahab bin 'Abdu Manaf bin Zahrah bin Kilab. Aminah ketika itu
termasuk wanita idola di kalangan orang-orang Quraisy baik dari sisi nasab
ataupun martabatnya. Ayahnya adalah pemuka suku Bani Zahrah secara nasab dan
kedudukannya. Akhirnya 'Abdullah dikawinkan dengan Aminah dan tinggal
bersamanya di Mekkah. Tak berapa lama kemudian, dia dikirim oleh ayahnya,
'Abdul Muththalib ke Madinah. Ketika sampai disana dia sedang dalam kondisi
sakit, sehingga kemudian meninggal disana dan dikuburkan di Daar an-Naabighah
al-Ja'di. Ketika (meninggal) itu dia baru berumur 25 tahun dan tahun
meninggalnya tersebut adalah sebelum kelahiran Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam sebagaimana pendapat mayoritas sejarawan. Ada riwayat yang menyebutkan
bahwa dia meninggal dua bulan atau lebih setelah kelahiran Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam. Ketika berita kematiannya sampai ke Mekkah, Aminah, sang
isteri meratapi kepergian sang suami dengan untaian ar-Ratsaa' (bait syair yang
berisi ungkapan kepedihan hati atas kematian seseorang dengan menyebut
kebaikan-kebaikannya-red) yang paling indah dan menyentuh:
Seorang putera Hasyim tiba (dengan kebaikan) di tanah lapang berkerikil
Keluar menghampiri liang lahad tanpa meninggalkan kata yang jelas
Rupanya kematian mengundangnya lantas disambutnya
Tak pernah ia (maut) mendapatkan orang semisal putera Hasyim
Di saat mereka tengah memikul keranda kematiannya
Kerabat-kerabatnya saling berdesakan untuk melayat/mengantarnya
Bila lah pemandangan berlebihan itu diperlakukan maut untuknya
Sungguh itu pantas karena dia adalah si banyak memberi dan penuh kasih
Keluruhan harta yang ditinggalkan oleh 'Abdullah adalah: lima ekor onta,
sekumpulan kambing, seorang budak wanita dari Habasyah bernama Barakah dan
Kun-yah (nama panggilannya) adalah Ummu Aiman yang merupakan pengasuh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum
List Posting Sirah Nabawiyah :
Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum
Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury
List Posting Sirah Nabawiyah :
- Posisi Bangsa Arab Dan Kaumnya
- Kekuasaan dan Imarah Di Kalangan Bangsa Arab
- Agama Bangsa Arab
- Gambaran Masyarakat Arab Jahiliyah
- Nasab dan Keluarga Besar Nabi
- Milad dan Empat Puluh Tahun Sebelum Kenabian
- Periode Mekkah
- Tahapan Pertama Berjihad Melalui Dakwah Kepada Allah
- Berdakwah Secara Terang-Terangan (Dakwah Jahriyyah)
- Pemboikotan Menyeluruh
- Delegasi Terakhir Quraisy Yang Mengunjungi Abu Thalib
- Kematian Abu Thalib
- Faktor Kesabaran dan Ketegaran Kaum Muslimin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar