Kotagede merupakan
saksi bisu dari tumbuhnya Kerajaan Mataram Islam yang pernah menguasai hampir
seluruh Pulau Jawa. Makam para pendiri Kerajaan Mataram Islam, reruntuhan
tembok benteng, dan peninggalan lain bisa kita temukan di Kotagede.
Pada abad ke-8,
wilayah Mataram (sekarang disebut Jogja / Yogyakarta) merupakan pusat Kerajaan
Mataram Hindu yang menguasai seluruh Pulau Jawa. Kerajaan ini memiliki
kemakmuran dan peradaban yang luar biasa sehingga mampu membangun candi-candi
kuno dengan arsitektur yang megah, seperti Candi Candi Prambanan dan Candi
Candi Borobudur.
Namun pada abad
ke-10, entah kenapa kerajaan tersebut memindahkan pusat pemerintahannya ke
wilayah Jawa Timur. Rakyatnya berbondong-bondong meninggalkan Mataram dan
lambat laun wilayah ini kembali menjadi hutan lebat.
Enam abad kemudian
Pulau Jawa berada di bawah kekuasaan Kesultanan Pajang yang berpusat di Jawa
Tengah. Sultan Hadiwijaya yang berkuasa saat itu menghadiahkan Alas Mentaok
(alas = hutan) yang luas kepada Ki Gede Pemanahan atas keberhasilannya
menaklukkan Arya Penangsang. Ki Gede Pemanahan beserta keluarga dan pengikutnya
lalu pindah ke Alas Mentaok, sebuah hutan yang sebenarnya merupakan bekas
Kerajaan Mataram Hindu dahulu. Desa kecil yang didirikan Ki Gede Pemanahan
di hutan itu mulai makmur.
Akan
tetapi, kehadirannya di daerah ini dan usaha pembangunannya mendapat berbagai
jenis tanggapan dari para penguasa setempat. Misalnya, Ki Ageng Giring yang
berasal dari wangsa Kajoran secara terang-terangan menentang kehadirannya.
Begitu pula ki Ageng tembayat dan Ki Ageng Mangir. Namun masih ada yang
menerima kehadirannya, misalnya ki Ageng Karanglo. Meskipun demikian, tanggapan
dan sambutan yang beraneka itu tidak mengubah pendirian Ki Ageng Pemanahan
untuk melanjutkan pembangunan daerah itu. ia membangun pusat kekuatan di plered
dan menyiapkan strategi untuk menundukkan para penguasa yang menentang
kehadirannya.
Pada
tahun 1575, Pemahanan meninggal dunia. Ia digantikan oleh putranya, Danang
Sutawijaya atau Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Di samping bertekad melanjutkan
mimpi ayahandanya, ia pun bercita-cita membebaskan diri dari kekuasaan pajang.
Sehingga, hubungan antara mataram dengan pajang pun memburuk.
Hubungan yang tegang antara sutawijaya dan kesultanan Pajang akhirnya
menimbulkan peperangan. Dalam peperangan ini, kesultanan pajang mengalami
kekalahan. Setelah penguasa pajak yakni hadiwijaya meninggal dunia (1587),
Sutawijaya mengangkat dirinya menjadi raja Mataram dengan gelar penembahan
Senopati Ing Alaga. Ia mulai membangun kerajaannya dan memindahkan senopati
pusat pemerintahan ke Kotagede. Untuk memperluas daerah kekuasaanya, penembahan
senopati melancarkan serangan-serangan ke daerah sekitar. Misalnya dengan
menaklukkan Ki Ageng Mangir dan Ki Ageng Giring.
Pada
tahun 1590, penembahan senopati atau biasa disebut dengan senopati menguasai
madiun, yang waktu itu bersekutu dengan surabaya. Pada tahun 1591 ia
mengalahkan kediri dan jipang, lalu melanjutkannya dengan penaklukkan Pasuruan
dan Tuban pada tahun 1598-1599. Sebagai
raja islam yang baru, panembahan senopati melaksanakan
penaklukkan-penaklukan itu untuk mewujudkan gagasannya bahwa mataram harus
menjadi pusat budaya dan agama islam, untuk menggantikan atau
melanjutkan kesultanan demak. Disebutkan pula dalam cerita babad bahwa cita-cita
itu berasal dari wangsit yang diterimanya dari Lipura (desa yang terletak di
sebelah barat daya Yogyakarta). Wangsit datang setelah mimpi dan pertemuan
senopati dengan penguasa laut selatan, Nyi Roro Kidul, ketika ia bersemedi di
Parangtritis dan Gua Langse di Selatan Yogyakarta. Dari pertemuan itu
disebutkan bahwa kelak ia akan menguasai seluruh tanah jawa.
Sistem
pemerintahan yang dianut Kerajaan mataram islam adalah
sistem Dewa-Raja. Artinya pusat kekuasaan tertinggi dan mutlak adaa pada diri
sultan. Seorang sultan atau raja sering digambarkan memiliki sifat keramat, yang
kebijaksanaannya terpacar dari kejernihan air muka dan kewibawannya yang tiada
tara. Raja menampakkan diri pada rakyat sekali seminggu di alun-alun istana. Selain
sultan, pejabat penting lainnya adalah kaum priayi yang merupakan penghubung
antara raja dan rakyat. Selain itu ada pula panglima perang yang bergelar
Kusumadayu, serta perwira rendahan atau Yudanegara. Pejabat lainnya adalah
Sasranegara, pejabat administrasi. Dengan
sistem pemerintahan seperti itu, Panembahan senopati terus-menerus memperkuat
pengaruh mataram dalam berbagai bidang sampai ia meninggal pada tahun 1601. ia
digantikan oleh putranya, Mas Jolang atau Penembahan Seda ing Krapyak (1601 –
1613). Peran mas Jolang tidak banyak yang menarik untuk dicatat.
Pada tahun 1613, Sultan Agung memindahkan pusat kerajaan ke Karta (dekat Plered) dan berakhirlah era Kotagede sebagai pusat kerajaan Mataram Islam.
PENINGGALAN SEJARAH
Pasar
Kotagede
Tata kota kerajaan
Jawa biasanya menempatkan kraton, alun-alun dan pasar dalam poros selatan -
utara. Kitab Nagarakertagama yang ditulis pada masa Kerajaan Majapahit (abad
ke-14) menyebutkan bahwa pola ini sudah digunakan pada masa itu. Pasar
tradisional yang sudah ada sejak jaman Panembahan Senopati masih aktif hingga
kini. Setiap pagi legi dalam kalender Jawa, penjual, pembeli, dan barang
dagangan tumpah ruah di pasar ini. Bangunannya memang sudah direhabilitasi,
namun posisinya tidak berubah. Bila ingin berkelana di Kotagede, Anda bisa
memulainya dari pasar ini lalu berjalan kaki ke arah selatan menuju makam,
reruntuhan benteng dalam, dan beringin kurung.
Kompleks
Makam Pendiri Kerajaan
Berjalan 100 meter ke arah selatan dari Pasar Kotagede, kita akan menemukan kompleks makam para pendiri kerajaan Mataram Islam yang dikelilingi tembok yang tinggi dan kokoh. Gapura ke kompleks makam ini memiliki ciri arsitektur Hindu. Setiap gapura memiliki pintu kayu yang tebal dan dihiasi ukiran yang indah. Beberapa abdi dalem berbusana adat Jawa menjaga kompleks ini 24 jam sehari.
Kita akan melewati
3 gapura sebelum sampai ke gapura terakhir yang menuju bangunan makam. Untuk
masuk ke dalam makam, kita harus mengenakan busana adat Jawa (bisa disewa di
sana). Pengunjung hanya diperbolehkan masuk ke dalam makam pada Hari Minggu,
Senin, Kamis, dan Jumat pukul 08.00 - 16.00. Untuk menjaga kehormatan para
pendiri Kerajaan Mataram yang dimakamkan di sini, pengunjung dilarang memotret
/ membawa kamera dan mengenakan perhiasan emas di dalam bangunan makam.
Tokoh-tokoh penting yang dimakamkan di sini meliputi: Sultan Hadiwiijaya, Ki
Gede Pemanahan, Panembahan Senopati, dan keluarganya.
Masjid
Kotagede
Berkelana ke
Kotagede tidak akan lengkap jika tidak berkunjung ke Masjid Kotagede, masjid
tertua di Jogja / Yogyakarta yang masih berada di kompleks makam. Setelah itu
tak ada salahnya untuk berjalan kaki menyusuri lorong sempit di balik tembok
yang mengelilingi kompleks makam untuk melihat arsitekturnya secara utuh dan
kehidupan sehari-hari masyarakat Kotagede.
Rumah
Tradisional
Persis di seberang
jalan dari depan kompleks makam, kita bisa melihat sebuah rumah tradisional
Jawa. Namun bila mau berjalan 50 meter ke arah selatan, kita akan melihat
sebuah gapura tembok dengan rongga yang rendah dan plakat yang yang bertuliskan
"cagar budaya". Masuklah ke dalam, di sana Anda akan melihat
rumah-rumah tradisional Kotagede yang masih terawat baik dan benar-benar
berfungsi sebagai rumah tinggal.
Kedhaton
Dalam bangunan itu
juga terdapat "watu cantheng", tiga bola yang terbuat dari batu
berwarna kekuning-kuningan. Masyarakat setempat menduga bahwa "bola"
batu itu adalah mainan putra Panembahan Senapati. Namun tidak tertutup kemungkinan
bahwa benda itu sebenarnya merupakan peluru meriam kuno.
Reruntuhan
Benteng
Panembahan Senopati
membangun benteng dalam (cepuri) lengkap dengan parit pertahanan di sekeliling
kraton, luasnya kira-kira 400 x 400 meter. Reruntuhan benteng yang asli masih
bisa dilihat di pojok barat daya dan tenggara. Temboknya setebal 4 kaki terbuat
dari balok batu berukuran besar. Sedangkan sisa parit pertahanan bisa dilihat
di sisi timur, selatan, dan barat.
Berjalan-jalan
menyusuri Kotagede akan memperkaya wawasan sejarah terkait Kerajaan Mataram
Islam yang pernah berjaya di Pulau Jawa. Selain itu, Anda juga bisa melihat
dari dekat kehidupan masyarakat yang ratusan tahun silam berada di dalam
benteng kokoh.
Berbeda dengan
kawasan wisata lain, penduduk setempat memiliki keramahan khas Jawa, santun,
dan tidak terlalu komersil. Di Kotagede, Anda takkan diganggu pedagang asongan
yang suka memaksa (hawkers). Ini memang sedikit mengejutkan, atau lebih
tepatnya menyenangkan. Siapa juga yang butuh pedagang asongan yang suka
memaksa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar